Berbagai macam kegiatan diadakan untuk menyemarakkan acara 17 Agustus tersebut mulai dari lomba hingga pagelaran seni budaya sebagai bentuk kesyukuran dan kebahagiaan.
Tapi berbicara tentang kemerdekaan itu sendiri, apa, sih, maknanya? Makna yang paling kita sering dengarkan adalah: kebebasan dan kemerdekaan suatu bangsa dari penjajahan dan penguasaan bangsa lain.
Kalau kita berbicara penulis itu merdeka. Artinya ia lepas dari segala bentuk afiliasi baik politik, organisasi, atau ikatan lainnya sehingga ia bisa netral dalam menuliskan opini atau berita.
Atau contoh lain, seorang pemimpin yang merdeka adalah ia yang terlepas dari segala tendensi, intensi, dan kepentingan politik tertentu sehingga ia bebas untuk melayani kepentingan rakyatnya.
Masih banyak contoh yang bisa kita sebutkan, namun dua contoh di atas sudah cukup untuk menjelaskan pengertian merdeka. Sehingga bisa disimpulkan bahwa kemerdekaan adalah keterlepasan dan kebebasan baik personal mau pun komunal ketundukan dan pengaruh dari luar sehingga bisa mengambil keputusan yang bersumber dari diri sendiri, prinsip sendiri, atau keinginan sendiri dalam melakukan sesuatu.
Berbicara dalam ranah personal, saya tertarik untuk menulisnya lebih lanjut. Tidak bisa dimungkiri bahwa manusia adalah makhluk sosial yang bergantung pada manusia lainnya. Ia memiliki hubungan timbal balik, pengaruh atau dipengaruhi oleh lingkungan, keluarga, tempat kerja, atau komunitasnya.
Namun seorang pribadi berhak untuk menentukan keputusan dan pekerjaan sendiri untuk menentukan warnanya sendiri. Misalnya: tak apa meminta saran orang lain pada warna cat rumah, tapi jika ternyata pilihannya tak Anda sukai, pilihlah warnamu sendiri. Jangan tak enakan menolak pilihan orang lain.
Jadilah pribadi yang merdeka. Jangan jadikan pandangan atau opini orang lain sebagai standard atas nilai dirimu.
Di antara tanda ketidakmerdekaan dan ketidakstabilan kepercayaan diri adalah ketidaktenangan atas pilihan sendiri sampai orang lain memujinya.
Betapa kita sering kali melihat banyak orang yang tersandera oleh prasangkanya terhadap pandangan orang lain. Akhirnya ia tak bebas berkreasi. Takut berbuat karena takut dicela dan melakukan sesuatu karena berharap pujian orang lain.
Ibnu Qudamah (seorang alim) berkata : "Sesungguhnya banyak manusia yang binasa karena takut pada celaan orang lain atau senang dengan pujian mereka. Sehingga semua prilakunya menyesuaikan kepuasan orang lain."