Mohon tunggu...
Akhmad Zuhri
Akhmad Zuhri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya begini demi saya di masa depan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ideologi Negara Indonesia Memiliki Keterkaitan dengan Agama Islam yang Dominan

25 September 2022   22:08 Diperbarui: 25 September 2022   23:06 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

77 tahun Indonesia diproklamirkan sebagai negara merdeka. Tentunya Indonesia tidak langsung terbebas dari berbagai tantangan yang akan datang. Agresi militer, perang dingin, kemiskinan, sampai ke separatisme. Namun, di tengah gempuran isu, bangsa ini masih berdiri tegak sampai hari ini. Ini hanya mungkin karena ideologi negara yang kuat, konsisten, dan diterima oleh rakyatnya Yaitu, Pancasila. Hingga saat ini, belum ada sumber hukum atau filsafat di Indonesia yang melampaui Pancasila. Hanya ketika kesejajarannya dengan Pancasila suatu aturan dapat menjadi hukum.

Loyalitas mendalam orang Indonesia terhadap Pancasila sebagai ideologi negara membuat ideologi lain atau bentuk negara lain yang terpisah dari Indonesia gagal mendapatkan dukungan yang memadai. Alhasil, padahal Indonesia tidak sekaya itu atau sekuat negara lain selama kemerdekaannya, Republik Indonesia dapat menahan segala permasalahan. Gagasan seputar ideologi negara pertama kali diangkat pada tanggal 29 Mei 1945 ketika Rapat BPUPKI dimulai.

Tujuannya, untuk membahas ideologi negara Indonesia yang merdeka. Berbagai tokoh kemudian mulai menyuarakan pendapat mereka, tetapi belum ada kesepakatan tentang landasan filosofis nasional. Situasi dalam persidangan kemudian mulai berubah pada hari ketiga ketika Soekarno mendapat giliran untuk menyampaikan pendapatnya pada tanggal 1 Juni 1945. Faktanya, Soekarno telah berpikir panjang dan keras tentang ideologi negara ini sejak tahun 1918. Dia terinspirasi oleh ideologi negara lain yang sederhana namun substantif seperti San Min Chu oleh Dr. Sun Yat Sen, Sejarah Materialisme dari Uni Soviet, dan bahkan Islam di Arab Saudi. Namun, menurut Soekarno, 5 prinsip sudah cukup bagi Indonesia. Prinsip pertama adalah prinsip kebangsaan. Menurut Soekarno, Indonesia harus berdiri sebagai bangsa dalam suatu negara. Soekarno mendasarkan bangsa ini pada tulisan Otto Bauer dan Ernest Renan, bahwa suatu bangsa adalah keinginan manusia untuk bersatu atas dasar nasib yang sama.

Namun, berkumpul atas dasar nasib serupa tidak cukup bagi Soekarno. Karena jika itu masalahnya, setiap suku dan etnis di Indonesia akan mengisolasi diri dan membangun bangsanya sendiri. Indonesia tidak bisa hanya menjadi bangsa dari satu kelompok, satu agama, atau satu ras saja,

melainkan persatuan seluruh rakyat di dalam wilayah Indonesia. Di bagian ini, Soekarno mulai menyentuh perbatasan teritorial Indonesia
Menurutnya, Indonesia memiliki batas "alami", yaitu, semua wilayah yang diapit oleh benua Asia dan Australia dan samudra Hindia dan Pasifik. Meskipun masyarakatnya memiliki budaya yang berbeda- beda, tetapi setiap orang di wilayah itu adalah satu bangsa, yaitu bangsa Indonesia. Dan Indonesia, sama seperti bangsa-bangsa lain, adalah satu sebagai keluarga di seluruh dunia. Inilah fondasi prinsip kedua Soekarno, internasionalisme.

Tidak cukup hanya mencintai Indonesia karena prinsip negara Indonesia juga cinta terhadap perdamaian dunia. Internasionalisme yang dimaksud di sini juga harus menekankan cinta untuk bangsa sendiri. Prinsip ketiga, konsensus, mengarahkan kehidupan rakyat. Soekarno percaya bahwa konsensus adalah tradisi Indonesia. Oleh karena itu setiap kelompok dalam masyarakat yang memiliki pendapat berbeda harus diberikan platform untuk menyuarakan pendapat mereka tanpa harus menghalangi atau menyakiti pihak lain. Masyarakat juga harus memiliki kesejahteraan demi menunjang kemerdekaan. Inilah prinsip keempat Soekarno yaitu keadilan sosial. Sukarno khawatir ketimpangan kekayaan yang meluas akan membuatnya seolah-olah Kemerdekaan Indonesia adalah kemerdekaan hanya untuk kelas-kelas orang tertentu.
Karena itu, Soekarno menganggap kemerdekaan tanpa kesejahteraan sebagai hal yang ambigu.
Dan prinsip kelima adalah keilahian. Seperti yang bisa dilihat mulai dari Islam, Agama Kristen Hindu Buddha sampai ke agama kepercayaan, Indonesia adalah bangsa yang selalu mempraktekkan ajaran agama dan menyembah Tuhan. Oleh karena itu, prinsip keilahian yang menghormati semua agama adalah suatu keharusan.

5 prinsip. Pancasila dapat diringkas menjadi Trisila dan Trisila dapat dibuat menjadi satu, yaitu, gotong royong (kerja sama dalam mencapai tujuan). Konsep dari Soekarno kemudian diterima oleh BPUPKI. Pancasila pernah memiliki kontroversi tersendiri. Pada Piagam Jakarta, prinsip pertama yang meliputi kewajiban untuk menegakkan hukum Islam bagi para pengikutnya dihapus. Pada awalnya, kepala sekolah adalah bentuk kompromi bagi kaum nasionalis dan kelompok agama. Pada tanggal 16 Juli 1945, piagam Jakarta dibuat sah sebagai "Mukadimah UUD 1945". Pada tanggal 18 Agustus 1945, beberapa tokoh nasional mengadakan pertemuan informal untuk membahas kemungkinan Indonesia bubar karena keberatan menuju prinsip pertama dalam Piagam Jakarta. Dalam rangka menjaga persatuan bangsa, berbagai tokoh nasional, salah satunya Moh Hatta dan Ki Hajar Dewantara berkeliling melobi orang.

Pada akhirnya, prinsip pertama menjadi Kepercayaan kepada Tuhan Yang Mahakuasa dan Mukadimah UUD 1945 menjadi pengantar UUD 1945.

Supremasi Pancasila tidak akan dipertanyakan. Namun, apa yang terjadi ketika Pancasila menjadi alasan bagi pemerintah otoriter untuk melabeli setiap orang yang mengkritisi pemerintah sebagai anti-pancasila? Ada beberapa yang menganggap kebijakan tersebut sebagai sesuatu yang penting untuk menjaga pertahanan nasional.


Namun, ada kekhawatiran bahwa di masa depan, narasi itu akan digunakan untuk membungkam mereka yang bahkan mungkin tidak anti-Pancasila, tapi hanya kritis terhadap pemerintah. Lalu, bagaimana seharusnya kita memperlakukan Pancasila di zaman modern ini?

Ya, lebih baik jika kita tidak memperlakukan Pancasila dengan paradigma otoriter. Ketika kita mempertanyakan relevansi Pancasila untuk generasi muda, misalnya, satu-satunya cara agar tetap relevan, tetap hidup sebagai nilai-nilai hidup dan budaya hidup dalam kehidupan masyarakat, harus terbuka bagi generasi muda untuk juga merasakan bahwa mereka memiliki kebebasan untuk menafsirkan, memperdebatkan, dan untuk menciptakan dialog tentang Pancasila dengan cara mereka sendiri. Jadi jangan tempatkan Pancasila sebagai sesuatu yang jauh dan jauh, sebagai sesuatu yang ilahi bahwa ketika diperlakukan secara kreatif itu akan dianggap sebagai penghinaan, atau ketika digunakan dalam lelucon itu dianggap pencemaran nama baik. Itulah yang akan membuat Pancasila tidak relevan untuk kehidupan masyarakat khususnya generasi muda, baik generasi Z maupun yang datang setelahnya. Jadi menurut saya, satu-satunya cara untuk membuat Pancasila hidup, menjadi nilai yang benar-benar bermakna bagi masyarakat, adalah membuatnya relevan untuk kehidupan masyarakat dan dengan membuatnya terbuka untuk semua, bagi orang-orang untuk merasa bebas untuk membuat dialog, berdiskusi, dan bahkan perdebatan tentang Pancasila.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun