Mohon tunggu...
Akhmad Sekhu
Akhmad Sekhu Mohon Tunggu... wartawan - profesional

Akhmad Sekhu lahir di desa Jatibogor, Suradadi, Tegal, besar di "Kota Budaya" Yogyakarta, kini hijrah ke "Kota Gelisah" Jakarta, yang insya Allah dalam hidupnya ingin selalu berkarya. Menulis berupa puisi, cerpen, novel, esai sastra-budaya, resensi buku, artikel arsitektur-kota, kupasan film-musik, telaah tentang televisi di berbagai media massa, juga banyak mengerjakan penulisan buku biografi karier dan kisah kehidupan, kini bekerja sebagai wartawan

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mempertahankan Nilai Kemanusiaan dalam Penderitaan

12 Desember 2009   23:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:58 557
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul Buku: Merajut Harkat

Penulis: Putu Oka Sukanta

Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Cetakan: Agustus 1999

Tebal: xxvi + 568 halaman

BAGAIMANA kalau Anda atau saya masih seperti di zaman Orde Baru (atau masih dibayangi) sehingga suatu hari tanpa tahu kenapa tiba-tiba dicap semacam istilah-istilah “gerombolan pengacau keamanan” atau “kelompok subversif”. Lalu tanpa perlindungan hukum dan tanpa daya, diculik, diseret bagai binatang ke tahanan, disiksa serta dipaksa mengakui hal-hal yang tidak pernah Anda lakukan atau pahami? Di tahanan itu Anda atau saya tak tahu apa yang akan terjadi esok hari, apakah akan dibunuh, disiksa lagi, atau dibiarkan hidup dengan perut lapar, dengan rongrongan berbagai penyakit menular tanpa obat, tanpa perhatian, tanpa harga diri, martabatnya kemanusiaannya ditiadakan.

Bayangan tentang hal-hal seperti itulah kira-kira yang dapat kita temui dalam novel Merajut Harkat. Judul dalam sampul buku itu pun tampak huruf kecil semua dan terlihat kurus-kurus, mungkin dimaksudkan sebagai gambaran “tersiksa”-nya tokoh atau pesan dalam cerita itu.

Karya Putu Oka Sukanta tersebut merupakan hasil perenungan dan pengendapan selama dua puluh tahun, dan kiranya tidak bisa dilepaskan dari pengalaman hidup penulisnya yang sempat menjadi tapol (tahanan politik) selama 10 tahun (1966-1976) di Penjara Salemba dan Tangerang, tanpa pernah diadili.

Novel ini punya kelebihan khas. Pertama, karya ini sudah menunjukkan kepada kita sosok manusiawi seorang tapol yang mampu mempertahankan kemanusiaan dalam penderitaan. Kedua, sebagai novel yang berlatar belakang sejarah, menjadi sangat bernilai karena memberikan interpretasi dan perspektif alternatif terhadap apa yang terjadi/ dialami.

Ketiga, membaca novel ini kita bisa mengenali diri kita sendiri sebagai bangsa. Apakah kita bangsa yang beradab, menghargai nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan? Lagi pula pengakuan korban penculikan Pius Lustrilanang dan orang-orang yang “hilang” tahun 1990-an, menunjukkan bahwa novel Merajut Harkat yang “menggambarkan” apa yang terjadi tahun 1960-an, ternyata masih relevan sampai sekarang.

***

NOVEL ini terbagi dalam lima bagian, yaitu Mengenali Jejak, Menatap Arah, Bersua dan Bersulang, Ning, dan Nyawa Sisa. Pada bagian awal, tokoh utama Mawa menonton film di bioskop dengan Nio. Mereka tiba-tiba pikirannya tegang penuh kekhawatiran, karena di situ mengenali seseorang yang dianggap membahayakan dirinya. “Hati-hati,” kata orang itu sebagai peringatan, atau mungkin malah ancaman.

Dari situlah kemudian menjadi berlanjut ketika sepulang menonton, bencana dimulai yakni pintu rumahnya digedor, kemudian digeledah, lalu ia diangkut. Ternyata ia dibawa ke barak, dan menjadi seorang tahanan.

Pada bagian Menatap Arah, kisah Mawa yang dikurung dalam penjara seperti binatang dalam karantina. Kisah-kisahnya dibangun penuh nuansa puitis dengan adanya kehadiran tokoh penyair yaitu HR. Banharo yang dijumpai di penjara. Pada bagian Bersua dan Bersulang, kisah persahabatan Mawa dengan tahanan-tahanan lainnya. Masih bernuansa puitis dengan bertambah lagi kehadiran penyair bernama Mirsan.

Pada bagian Ning, Mawa berada di Blok N, blok kerangkeng singa. Ia masuk digiring oleh seorang hansip dan serdadu serta tahanan yang membawa kunci sel. Di sini ia merasakan masuk ke dalam suatu dunia baru, yaitu dunia Ning.

Pada bagian akhir, yakni Nyawa Sisa, Mawa merasakan bahwa sepi di luar sel, sepi juga di dalam dirinya. Kemudian roh Mawa seperti lepas dari raga yang bergentayangan masuk ke orang-orang pasar, tukang becak, dan terakhir seorang polisi, dengan sempat menyapa serdadu tahanan yang lewat dan ia pun tersenyum. Ya, ia tersenyum terus sambil memanjat langit, menunggang mega dihembus angin.

***

SALAH satu adegan yang menyentuh dalam novel ini terjadi ketika para tapol yang ditangkap itu dengan penuh tanda Tanya besar mempersoalkan apa sebenarnya yang terjadi pada tanggal 30 September 1965. Ya, tak ada yang dapat memberikan penjelasan terhadap suatu tragedy tersebut. Masih menjadi kontroversial? Mungkin!

Di antara ungkapan-ungkapan tahanan yang cenderung melampiaskan bahasa jorok dengan vulgar, diungkapkan dalam novel ini. Juga ditampilkan kerapuhan hidupnya, kerinduannya dan sewaktu-waktu nyali kehidupannya yang begitu sulit dipahami. Bisa diibaratkan sebagai lilin yang kena terpaan angina, yang sudah tampak padam dengan sendirinya.

Ada lagi adegan yang sangat ironis, ketika seorang pemuda tapol dengan penuh semangat dan tekad menggebu-gebu menyatakan ingin bergabung jadi anggota sebuah organisasi tersebut justru karena sudah dinyatakan bubar oleh pemerintah. Pemuda itu mendapatkan bahwa rekan yang berasal dari organisasi tersebut lebih bersikap manusiawi disbandingkan dengan sesama tapol lain. Sebuah simpatik yang sangat simpatik. Hal-hal seperti itulah yang sering ditonjolkan dalam novel Oka ini.

***

MEMBACA novel ini, terasa dengan jelas, realistis, digambarkan manusia yang terkoyak oleh tekanan kekuasaan dan penderitaan, saling mencurigai, bahkan terkadang mengkhianati dan memangsa yang lain. Di pihak lain digambarkan pula manusia-manusia yang sanggup mempertahankan nilai kemanusiaannya dalam penderitaan, dan mampu memberi uluran tangan pada yang lain di saat ia sendiri dalam keadaan sekarat.

Ditulis selama dua puluh tahun, novel ini memang terasa tidak terjalin oleh suatu mood yang utuh. Terkadang narasinya diolah dengan puitis yang juga begitu reflektif. Sedangkan diksi dan pengkalimatan narasinya seringkali seperti transkripsi lisan (bahasa tutur) yang belum tersentuh pengolahan estetis.

Membaca buku ini, hendaknya tak usah menusukkan dendam ke dalam hati. Tetapi justru harus membuat pikiran tambah bening, bahwa kekerasan bukanlah cara pemecahan persoalan. ■

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun