Mohon tunggu...
Akhmad Mukhlis
Akhmad Mukhlis Mohon Tunggu... Dosen - Gandrung Sepak Bola, Belajar Psikologi

4ic meng-Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Psikologi Predator Seksual

24 Desember 2021   15:14 Diperbarui: 27 Desember 2021   11:43 1096
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kekerasan seksual | Sumber: Shutterstock

Kita semua memiliki ciri dan kecenderungan biologis, tetapi apakah, kapan, dan bagaimana kita bertindak terhadapnya seringkali dibentuk oleh konteks sosial dan identitas sosial.

Gelombang berita tentang kekerasan dan pelecehan seksual menghantam kita dengan begitu keras. 

Kematian tragis seorang perempuan yang juga mahasiswa di atas makam ayahnya menjadi semacam bogem telak.

Belum sempat kita mengembalikan kesadaran, gelombang pukulan terus saja menghujami emosi kita, mulai dari pemerkosaan bayi oleh keluarganya, guru dan pengasuh boarding school kepada muridnya, kekerasan-kekerasan lain yang terjadi dalam keluarga, sampai kejadian pilu seorang ibu muda yang diperkosa beramai disertai pembunuhan bayinya yang baru belum genap lima bulan. 

Kita semua sedang marah, murka, kecewa, dan sekaligus frustrasi. Kita mengutuk pelaku, menghakiminya secara brutal di media sosial, menuntut hukuman mati kepadanya, namun kita juga tidak yakin apakah perangkat hukum kita mampu melaksanakan hal tersebut. 

Namun begitu, sebagian dari kita masih dalam keseimbangan yang baik, menyisihkan sebagian energinya untuk menuntut kejelasan Undang-Undang Kekerasan Seksual.

Tetiba anekdot "Cantik" yang ditulis oleh Ariel Heryanto tahun 1997 kembali mengemuka, tentang betapa lemahnya kita melindungi perempuan. 

Perempuan terus saja menjadi objek, bahkan saat mereka menjadi korban. "Terus terang kami masih tak paham. Kalau di planet kami ada binatang buas dan berbahaya bagi umum, maka yang dikurung adalah binatang itu. Bukan korbannya." Adalah kalimat terakhirnya. Menjadi potret jelas betapa kita gagap, cacat logika dan salah langkah mengantisipasi keadaan yang mengancam.

Jikapun benar para pelaku dapat ditangkap, diadili dan dijatuhi hukuman; jikapun terjadi, para legislator yang terhormat dengan bijak dan cekatan mengesahkan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (Amiiin), apakah itu telah cukup bagi generasi mendatang untuk menjadi aman? 

Ini menjadi pertanyaan mendalam yang harus segera kita jawab. Kita harus menyisihkan sebagian energi kita untuk mengantisipasi sebaik mungkin kejadian-kejadian tragis terulang kembali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun