Mohon tunggu...
Akhmad Mukhlis
Akhmad Mukhlis Mohon Tunggu... Dosen - Gandrung Sepak Bola, Belajar Psikologi

4ic meng-Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Menikmati Paradoks Sepak Bola

9 Mei 2019   13:50 Diperbarui: 10 Mei 2019   00:06 618
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar diadopsi dari nytimes.com

Sepakbola kembali memberikan pesan kuat, sangat sangat kuat. Lewat dua pertandingan putaran kedua semifinal Liga Champions 2019. Bahwa sepakbola bukan hanya masalah memulai pertandingan dari kepala dan mengakhiri dengan kaki. Sepakbola adalah (juga) permainan mental. Siapa mampu menjaga konsentrasi dan kemauan sejak menit pertama sampai peluit berakhir, ialah pemenangnya.

Dua tim unggulan tersungkur secara dramatis oleh dua tim yang terlihat compang-camping. Keduanya dari Inggris. Inilah kejutan tahun ini dalam sepak bola. Dua tim pengganggu Manchester City di Liga Inggris akan berjibaku di final. Final kedua antara klub Inggris setelah 2008.

Sihir Bunga Lily
Hanya tersisa satu menit, mungkin kurang dari itu. Tim muda yang dalam beberapa pekan terakhir mendapatkan pujian dunia terus bertahan. Seharusnya energi mereka terkuras, ketegangan terus mencengkeram pikiran mereka.

Anak-anak muda tempaan bengkel Cruyffian tetap bertahan, mereka terus melihat masa depan dan menggemakan keemasan masa lalu. Kekuatan yang sepertinya akan memantulkan semua yang dikerahkan Tottenham Hotspur. Ajax terus memantapkan dirinya setelah membuang keunggulan dua gol dalam waktu empat menit.

Detik terus berjalan, Spurs terus menggempur benteng Ajax. Matthijs de Ligt tak menunjukkan sedikitpun tanda-tanda ketakutan. Pemuda idaman klub kaya raya itu dengan penuh kepercayaan diri menghalau semua serangan, tekelnya begitu dingin. Bahkan saat Hugo Lloris ikut menyerbu pada momen sepak pojok terakhir Spurs, usaha tersebut tidak membuahkan hasil. Semua mata tertuju pada Felix Brych, hanya pria Jerman tersebut yang bisa mengakhiri penyiksaan panjang Ajax di kandangnya sendiri.

Sepertinya semuanya akan berakhir indah di Amsterdam. Hanya perlu beberapa detik saja, pekerjaan sepuluh bulan terbayar. Tidak lama lagi, pondasi yang dibangun susah payah selama satu dekade akan membuahkan hasil. Ajax akan kembali ke puncak Liga Champions setelah dua puluh tiga tahun penantian.

Sayangnya, semuanya hilang dalam sekejap mata. Tetiba waktu meninggalkan mereka, semuanya menjadi kabur. Bola bersarang ke gawang Andre Onana, sekali lagi. Tiga kali, dalam satu babak. Oleh satu pemain. Pemain yang baru mendapatkan jaminan bermain di saat banyak rekannya tumbang. Pemain yang tidak lagi dianggap bintang, terbuang dari gudang bintang di Paris. Lucas Moura.

Tembakan kaki kirinya dengan sekejab menumbangkan sebagian besar pemain Ajax di lapangan. Mengalirkan air mata dalam paradoksnya. Kesedihan dan kegembiraan.

Waktu menjadi terlihat begitu kejam bagi Ajax. Lima menit yang terasa begitu lama telah berlalu. Staf pelatih, pemain cadangan, dan ofisial Spurs menghambur dalam lapangan melewati tubuh lunglai pasukan muda penyihir dunia.

Terlihat Victor Wanyama tetap berlari meski tertatih, begitu juga dengan Harry Kane yang sebelumnya tidak menyisakan barang sedikit senyum di bibirnya. Mauricio Pochettino terlihat kehilangan kontrol. Air matanya jatuh mendahului kebahagiaannya. Namun, itu hanya sebentar. Ia kembali mendapatkan kontrol dan menghampiri Erick Ten Haag.

Seharusnya Ajax tidak berakhir seperti ini. Musim gemilang dengan kampanye menyihir dunia tak sepantasnya berakhir begitu sakit. Erick Ten Haag harus bergerak cepat. Memulihkan luka.

Masih ada dua pertandingan liga untuk mendapatkan gelar domestik. Tapi di sana masih ada PSV. Mereka mengintai kapanpun kaki ringkih Ajax terpeleset. Jika memang gagal, tahun depan akan semakin sulit. Karena pasar mengintai hampir semua bintang Ajax.

Keajaiban Anfield

Gambar diadopsi dari theguardian.com
Gambar diadopsi dari theguardian.com
Ada banyak waktu di mana olahraga bisa terasa seperti hal yang berlebihan, dipompa pada kepentingannya sendiri. Seperti buku cerita yang berbicara hanya untuk dirinya sendiri. Dua hari ini, 8 dan 9 Mei 2019, saat seperti itu terjadi. Saat sihir bunga Lily meruntuhkan kota Amsterdam. Bisa jadi sihir tersebut mendapatkan mantra dari keajaiban yang terjadi di Anfield tepat dua puluh empat jam sebelumnya.

Keajaiban di Anfield itu harus di bagian paling atas dalam sejarah mereka. Mengingat siapa yang mereka mainkan, pentingnya kesempatan dan perasaan yang luar biasa. Terlepas dari semua yang telah disaksikan stadion ini selama bertahun-tahun, bahwa Liverpool tidak pernah bisa mengelola sesuatu yang spektakuler ini sebelumnya.

Siapa yang berani secara terbuka menjagokan Liverpool sehari sebelumnya? Memang tahun lalu mereka sampai pada laga puncak. Laga di Anfield bukanlah laga yang ingin sepenuhnya dilewati oleh The Kop. Defisit tiga gol, beberapa pemain pilar terkapar.

Kesempatan di Liga Inggris juga hampir sirna. Segenap luka tersebut sepertinya akan semakin menganga. Ada juara Spanyol bertandang menuntaskan misi. Dipimpin Lionel Messi, Blaugrana mengejar treble ketiga mereka dalam satu dekade dan koleksi Si Kuping Lebar kelima mereka dalam 13 tahun terakhir.

Tim lain mungkin saja menyusut dengan apa yang telah pada mereka. Tapi Liverpool tidak. Apa yang bisa diharapkan pada sosok Divock Origi dan Gigi Wijnaldum? Mereka pantas dimasukkan dalam kamus calon bintang gagal berkembang. Nama besar mereka hanya sampai pada mata dan telinga penggila Football Manager (FM) era 2000-an. Tidak di dunia nyata. Minimal sampai kemarin malam.

Gerakan aneh Origi terlihat begitu penuh keberuntungan saat menyambar muntahan tendangan Kapten Jordan Handerson. Itu terjadi di menit 7, seperti menghembuskan keyakinan kepada semua. Ya! Kita bisa!

Sembilan menit setelah masuk lapangan, Wijnaldum mendapatkan momentum. Gol pertamanya datang ketika Alexander-Arnold kehilangan bola, lalu memenangkannya kembali, sebelum mengirimkan umpan silang rendah dari kanan. Wijnaldum yang berlari berhasil mengirim bola melewati celah di bawah Ter Stegen. 2-3!

Gigio segera menghampiri bola dan merebutnya dari Ter Stegen. Ia mengirim pesan yang mewakili sikap Liverpool. Mereka ingin segera kembali memulai pertandingan. Tepat dua menit kemudian, Gigio kembali ada di depan gawang menerima umpan ciamik dari Shaqiri. Itu adalah tandukan memutar yang secara dramatis mengubah corak pertandingan.

Pada sisi lain, Liverpool masih tetap dalam ancaman. Messi, seorang yang tidak akan membiarkan kesempatan besar melewatinya. Beberapa kali manusia planet lain ini membahayakan gawang Alisson. Tapi sepertinya Juergen Klopp memang tidak membuat ketentuan khusus untuk menjaga pemenang lima kali Ballon d'Or. Klopp sepertinya malah menginginkan sebaliknya. Barcelona yang takut kepada Liverpool. Ketakutan yang menjadi kenyataan sejak menit 56.

Puncaknya adalah eksekusi tendangan sudut brilian dari Trend Alexander-Arnold pada menit 79. Apa yang dilakukan pemain Barca saat itu? Sepertinya pikiran mereka memang sedang kacau. Mereka kehilangan fokus. Mungkin karena sulit menerima diri mereka dicabik-cabik oleh sekumpulan pemain cadangan.

Ada waktu tiga minggu untuk menuju Wanda Metropolitano di Madrid. Mungkin, akan terasa sempit bagi Juergen Klopp. Masih ada trauma tiga final sebelumnya. Juga masih ada satu laga pamungkas untuk diselesaikan sambil berharap City terpeleset.

Untuk Pochettino, tiga minggu juga bukan waktu yang lama. Ini adalah pengalaman pertama. Lebih dari 20 hari juga tidak cukup untuk memulihkan beberapa pemain yang terkapar, terutama Harry Kane.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun