Mohon tunggu...
Akhmad Mukhlis
Akhmad Mukhlis Mohon Tunggu... Dosen - Gandrung Sepak Bola, Belajar Psikologi

4ic meng-Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Ramainya Pilpres Itu Gak Ada Apa-apanya dengan Ibu-ibu Memilih SD Anaknya

20 Maret 2019   11:57 Diperbarui: 20 Maret 2019   20:46 510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar dari confessionsofanadoptiveparent.com

Intinya kalau diibaratkan pacaran, ibu-ibu muda sekarang itu posesif banget sama anak-anaknya. Sebagai penyeimbang data, saya kemudian bertanya kepada kepala sekolah, jangan-jangan itu hanya perasaan ibu? 

Sejak kapan ibu merasa seperti itu dan apakah dari data wali murid sejak perasaan itu muncul menunjukkan hal yang sama. Singkat kata, kami (saya dan kepsek) membongkar data wali murid lima tahun terakhir. 

Apa yang saya temukan benar-benar mencengangkan. Semakin banyak orangtua bergelar sarjana, semakin itu memberatkan tugas sekolah dengan kerewelannya.

Saya kira hal ini adalah fenomena yang patut diberikan perhatian. Karena banyak diantara teman anak-anak saya kemudian mendapatkan perlakuan yang --jika dilihat dari kacamata psikologi dan pendidikan- tidak seharusnya diberikan pada anak-anak usia dini. 

Mulai les membaca, menulis dan berhitung, belajar ekstra dengan orangtua mereka saat di rumah untuk hafalan dan persiapan lainnya demi masuk sekolah yang katanya favorit. Kesemuanya jelas memangkas hak anak atas dunia mereka, bermain.

Alih-alih mendampingi anak-anak untuk mendapatkan keceriaan dengan bermain, ibu-ibu muda memilih mempertahankan egonya. Perilakunya pun menjadi aneh, seperti membeli buku dan alat bantu lain yang tidak murah. 

Padahal, kalau boleh jujur membeli buku dengan harga tersebut untuk dirinya sendiri belum tentu dilakukan. La ngapain, kan mending buka toko online dan mendonasikan uangnya kesana hehe.

Mereka juga tidak segan memprotes pihak lembaga PAUD, jika dirasa (mereka sendiri yang merasa) anak-anaknya tidak menunjukkan perkembangan sesuai keinginannya. Apa yang terjadi kemudian? Dengan sangat terpakas pihak lembaga PAUD memberikan jam tambahan khusus untuk meningkatkan kompetensi calon lulusannya agar siap masuk SD. 

Melalui apa? Ya menggenjot anak-anak dengan pelajaran membaca, menulis dan berhitung. Serta tidak lupa hafalannya. Bayangkan perasaan guru TK, mereka semua tahu melalui diklat yang mereka ikuti, bahwa calistung dilarang secara formal oleh pemerintah, namun apalah daya mereka jika ditekan oleh the power of emak-emak.

Melacak akar kecemasan pengasuhan

Saya tidak hendak mengadili gaya pengasuhan yang saya sebutkan di atas, terutama dalam urusan memilihkan anak-anak sekolah terbaik. Namun saya tertarik menelusuri mengapa kecemasan ibu-ibu muda sedemikianrupa. Dari banyak berkunjung ke lembaga PAUD serta informasi keseharian lainnya, saya rasa ada beberapa faktor yang mendasari kecemasan model tersebut.

  • Ingin berhasil menjadi orangtua. Level pendidikan bisa jadi menjadi pengaruh penting faktor ini. Tidak ada satupun orangtua yang ingin melihat anaknya gagal. Namun, gelar pendidikan bisa jadi menjadi faktor tekanan tersendiri bagi ibu-ibu muda zaman now. Merasa lupa bahwa anaknya adalah manusia 'lain'. 

  • Faktor pertama saya rasa menjadikan ibu-ibu muda spaneng. Paradigama tentang apa yang baik dan tidak baik seringkali membawa mereka melupakan bahwa anak bukanlah dirinya. Anak adalah manusia yang memiliki hidupnya sendiri. Memang benar kita memiliki pengetahuan dan pengalaman tentang kehidupan, namun jangan sampai itu menjadi tolok ukur tunggal bagi anak-anak kita. 

  • Bisa jadi mereka terlahir dengan bakat dan tumbuh dengan minat yang sama sekali berbeda dengan kita. Tidak mudah memang. Saya mengalami itu, awalnya sulit menerima anak pertama saya tidak menyukai sepak bola. Dia lebih tertarik dengan menggambar dan cerita fantasi. Namun, akhirnya saya harus menerimanya. Anak saya adalah dirinya sendiri, berbeda dengan saya.

  • Maraknya seminar pengasuhan. Kita semua pasti tahu bahwa seminar parenting sedang marak dimana-mana. Apakah itu petanda baik? Tergantung dilihat dari perspektif mana dulu. Jika dilihat frekuensi permintaan dan cakupannya, saya rasa itu positif. Karena banyak pihak menyadari pentingnya pengasuhan tepat untuk anak-anaknya. 

  • Namun jika kita lhat dari sudut terbalik, maka ini pretensi tidak baik. Artinya, berarti kompetensi mengasuh orangtua muda sekarang tidak setangguh zaman dulu dong. Untuk mengasuh saja mereka membutuhkan informasi dari seminar.

  • Informasi yang tidak komprehensif. Teknologi informasi adalah pisau bermata dua, bisa jadi positif atau sebaliknya bagi penggunanya. Lagi-lagi tergantung kesiapan penggunanya. Kita bisa lihat bagaimana ramainya informasi auta (hoax) dalam berbagai arus kehidupan. Dunia politik mungkin yang paling ramai, disusul info agama, kesehatan, dan masih banyak lagi, termasuk info tentang pengasuhan. 

  • Sayangnya banyak informasi diterima pembaca tidak penuh menyeluruh, seringkali terpotong. Orang lebih memilih gambar singkat, video pendek dan semacamnya dalam memahami dan mempercayai sesuatu. Belum lagi sumber informasi seringkali tidak valid dan bahkan bohong. Sudah begitu, pemahaman pembaca (kebanyakan ibu-ibu) juga beragam. 

  • Sempurnalah informasi tersebut menjadi informasi yang hybrid alias gado-gado. Akan menjadi miris jika informasi yang arus produksi pengetahuannya seperti  saya sebutkan di atas kemudian menjadi sati-satunya perspektif ibu-ibu dalam mengasuh anak-anaknya.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun