Mohon tunggu...
Akhmad Mukhlis
Akhmad Mukhlis Mohon Tunggu... Dosen - Gandrung Sepak Bola, Belajar Psikologi

4ic meng-Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Memahami Siklus Konflik antara Orangtua dan Anak

4 Maret 2019   15:19 Diperbarui: 5 Maret 2019   17:57 1237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi thinkstock.com

Suatu sore, sepasang orang tua terlihat marah kepada anaknya lantaran rumah mereka berantakan penuh mainan, air dan kotoran. Sejenak terlihat anak ingin menjelaskan, namun terpotong oleh luapan kemarahan ibundanya, "Saya kan sudah seringkali bilang, habis main kembalikan, biar rapi!" Tak berselang lama, anak tersebut terlihat menutupi wajah dengan kedua tangannya dan mulai menangis.

Hampir semua manusia ingin memiliki keturunan, namun tidak semuanya siap untuk menjadi pengasuh bagi anak-anaknya kelak. Setidaknya kita bisa melihat fenomena keseharian di sekitar kita, tentang 'kenakalan' anak-anak dan tekanan-tekanan orangtua dalam mengasuh anak-anak mereka. 

Mengapa kerap kita mendengar tentang keluhan orangtua dalam mengasuh anak-anak mereka? Jawabannya sederhana, karena anak-anak tidak banyak mendapatkan kesempatan untuk menyampaikan hal serupa (keluhan) tentang hubungan mereka dengan orangtua mereka.

Konflik dalam pengasuhan antara orangtua-anak merupakan hal biasa dalam kehidupan. Ia adalah jejak yang membuktikan dinamika hubungan diantara keduanya. Banyak diantaranya menjadi sebuah titik balik kuatnya hubungan orangtua-anak, namun tidak sedikit yang menjadi sebaliknya.

Kalau tidak percaya cobalah datang di sekolah-sekolah (TK dan SD) saat anak-anak menghambur keluar seteah bel pulang sekolah berbunyi. Lihat bagaimana cara-cara orangtua saat melayani keinginan anak-anak membeli (lagi dan lagi) mainan dan makanan di depan sekolah. 

Atau kalau anda teah memiliki anak, bagaimana rasanya saat anak anda terus menerus membuat rumah berantakan. Sekali lagi, ada yang berhasil menghadapi kejadian-kejadian tersebut, namun tidak sedikit yang belum berhasil dan kemudian berkonflik dengan anak-anak.

Apa yang terjadi saat konflik?
Anak-anak hampir selalu akan menjadi korban jika terjadi konflik dengan orangtua mereka. Mereka tidak memiliki otoritas untuk membawa keinginan dan emosinya dipahami orangtua mereka, sedangkan orangtua dengan segudang pengetahuan dan pengalamannya memiliki otoritas penuh untuk selalu 'menang' dalam konflik. 

Pengetahuan dan pengalaman akan menjadi guide bagi orangtua untuk mengekspresikan perasaan tertekan dan frustasi saat berhadapan dengan anak mereka dalam sebuah konflik. Mereka bisa menekan dengan berbagai cara, mulai dengan intimidasi kontak mata, meninggikan suara, memberikan hukuman fisik sampai hukuman mengacuhkan anak-anak mereka.

Beberapa orangtua mengaku menyesal sesaat setelah konflik berakhir dengan 'kemenangan' mereka. Kemudian mecoba memperbaiki hubungan dengan berbagai hal, mulai menjalin komunikasi yang lebih lembut sampai memberikan hadiah. Sayangnya hanya sedikit dari resolusi tersebut yang benar-benar menyelesaikan masalah. 

Tau kenapa? Karena resolusi tersebut diambil searah tanpa mengindahkan keinginan anak-anak mereka saat konflik terjadi. Memang hadiah membuat anak kembali tersenyum gembira, namun senyum itu, yakinlah bukan karena anak merasa selesai dengan konflik sebelumnya, namun perasaan suka karena mendapatkan mainan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun