Mohon tunggu...
Akhmad Mukhlis
Akhmad Mukhlis Mohon Tunggu... Dosen - Gandrung Sepak Bola, Belajar Psikologi

4ic meng-Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama FEATURED

Bagaimana Sikap Kita Jika Harus Berdebat Soal Politik dengan Teman atau Saudara?

12 Desember 2017   08:58 Diperbarui: 18 Januari 2019   16:50 5880
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Shutterstock

Pagi itu seorang teman tetiba ngajak ngopi dan mencurahkan kekesalan atas salah saorang saudaranya. Masalahnya semalam mereka berdebat dalam pilihan politik yang berbeda. Mereka kemudian malas untuk bertegur sapa, keadaan rumah menjadi tidak nyaman.

Apakah anda pernah menghadapi situasi yang mirip dengan cerita di atas? Ya, berdebat soal politik dengan keluarga atau teman dekat. Jikalau belum, sepertinya tahun 2018 akan memberikan anda kemungkinan-kemungkinan baru menghadapi hal tersebut.

Selain menjadi tajuk berita utama pada hampir semua media, politik juga sangat renyah untuk menjadi bahan obrolan sehari-hari. Entah di warung kopi, kantor, bahkan di rumah. Beberapa dari kita mungkin malas membahas permasalahaan politik dan menghindari bercakap tema tersebut saat sedang mengobrol. Beberapa yang lain merasa nyaman ngobrol politik sampai pada batasan tertentu saja. 

Golongan jenis ini merasa jika obrolan mengarah soal pilihan (pribadi) politik, maka tiba saatnya mereka menarik diri dari percakapan. Ada juga yang merasa tetap nyaman dengan bahasan terkait pilihan politiknya, bahkan tidak berkeberatan beradu argumen (berdebat) asalkan tidak dengan orang-orang terdekat mereka seperti keluarga atau teman dekat. Jenis terakhir adalah mereka yang merasa tetap nyaman --bahkan merasa wajb, membawa masalah politik sampai lingkup terdekat mereka. Saya rasa diantara kita pernah bertemu jenis ini.

Perdebatan dengan tema politik memang menggiurkan, namun juga tidak jarang membuat hubungan pertemanan atau bahkan persaudaraan menjadi renggang bahkan terputus. Tanda awal kerenggangan biasanya terlihat dalam aktivitas akun media sosial, mulai dari saling serang komen dan berujung pada unfollowdan unfriend.

Ketika bertanya kepada beberapa teman, kebanyakan dari mereka menganggap pilihan politik adalah hak pribadi, sehingga tidak etis bagi mereka jika pilihan tersebut harus ditunjukkan pada orang lain, apalagi sampai diperdebatkan. Selain itu, sebagian lainnya mengatakan bahwa "terlalu menegangkan" jika dia harus beradu argumen tentang pilihan politiknya dengan orang-orang terdekat yang memiliki pilihan politik berbeda. 

Dianggap menegangkan karena kebanyakan perdebatan semacam itu akan menimbulkan kekecewaan diantara satu pihak, kekecewaan tersebut akan secara langsung memeberikan efek dalam hubungan keseharian mereka. "Bayangkan jika setiap hari bertemu dan kita menjadi tidak respek gara-gara debat politik", begitu kata salah seorang teman saat menanggapi terkait perdebatan politik dengan orang terdekat mereka.

Apa Kata Penelitian

John Bargh, seorang Profesor dari Yale University baru-baru ini menulis tentang hasil penelitian eksperien terkait pilihan politik di The Washington Post. Menurutnya, pilihan politik merupakan sebuah pengambilan keputusan yang secara ilmiah mekanismenya hampir sama dengan pengambilan keputusan lainnya seperti pilihan menu makan siang, pilihan baju hari ini dan hal-hal sederhana lainnya. Kesemua pilihan pasti memiliki dampak dan hampir dari kita pasti telah memikirkan dampak tersebut, meskipun terkadang tidak teliti dan sempurna.

Dalam sebuah eksperimen, John Bargh dan rekannya menguji pandangan warga Amerika terhadap imigran melalui isu wabah flu. Peserta penelitian dibagi dalam dua kelompok, masing-masing kelompok diberikan peringatan di awal penelitian tentang virus flu. Kelompok yang satu diberikan suntikan vaksin flu dan kelompok lainnya tidak. Hasilnya setelah diberikan perlakuan (suntikan vaksin) dan dimintai pendapat mereka tentang imigran, kelompok ekspreriman (yang menerima suntikan) memiliki pandangan yang positif terhadap imigran dibandingkan dengan mereka yang tidak mendapatkan suntikan.

Penelitian tersebut dapat memberikan gambaran kepada kita bahwa rasa aman memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap pandangan seseorang. Perasaan terlindungi dapat mengarahkan perasaan seseorang untuk lebih liberal atau toleran tentang imigrasi, sementara ancaman potensial (virus flu) dapat mengarahkan pandangan yang lebih konservatif, atau negatif tentang imigrasi. Selain penelitian di atas, banyak penelitian eksperimen lain yang membuktikan hal serupa, bahwa rasa aman seseorang memodulasi sikap dan perilaku seseorang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun