Mohon tunggu...
Akhmad Maulana
Akhmad Maulana Mohon Tunggu... Guru - Guru dan Enterpreneur

Seorang anak muda yang mengabdikan diri pada dunia pendidikan dan berkarir membangun jejaring usaha secara mandiri.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menyelami Makna Toleransi a la Gus Dur

4 Juli 2017   22:35 Diperbarui: 5 Juli 2017   05:29 3023
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber photo: gusdur.net

"Bukankah dengan saling pengertian mendasar antaragama, masing-masing agama akan memperkaya diri dalam mencari bekal perjuangan menegakkan moralitas, keadilan dan kasih sayang?" (Abdurrahman Wahid) Seorang tokoh fenomenal yang seringkali dikenal dengan sikap humanis sekaligus kebijakan yang berani mengantarkan beliau sebagai seorang Bapak Pluralisme yaitu KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Beliau merupakan sosok pemimpin sekaligus Ulama yang berpengaruh di Indonesia pada zamannya lebih lagi pada era transisi orde baru menuju reformasi. Peran seorang Gus Dur sangat penting sekali. 

Pemaknaan judul ini pun menggunakan perumpamaan (analogi) menyelami yang bermaksud bahwa sebenarnya sosok Gus Dur merupakan lautan yang luas dan dalam sehingga menyimpan mutiara yang apabila kita dapati maka sejatinya kita akan kaya raya dalam artian memahami pemikiran Gus Dur berarti kita memiliki sekaligus menambah kekayaan pemikiran kita. Lalu bentuk apa yang harus kita selami dalam pemikiran Gus Dur? Ada banyak sekali pemikiran Gus Dur yang dapat kita selami, namun dalam kesempatan ini ada satu tentang pemikiran Gus Dur yang harus kita pahami yaitu tentang toleransi.  

Persoalan tentang toleransi tidak akan pernah habis untuk dibahas hingga detik ini. Sebab, ada banyak kasus intoleransi yang hari ini terjadi di negara-negara yang tengah berkembang. Seperti halnya Indonesia, pernah terjadi beberapa kasus intoleransi (kekerasan) yang mengatasnamakan agama. Misalnya kasus pengeboman di Bali, pertikaian berbau sara di Maluku, Poso, Aceh hingga Sampit Kalimantan Tengah. Fenomena seperti ini, memunculkan pertanyaan kritis terhadap bangsa ini. Siapakah yang salah? Padahal masyarakat kita orang yang beragama. Apakah agama membolehkan kekerasan? Atau kita justru me-legal-kan kekerasan atas nama agama? Anehnya islam kini di cap sebagai agama yang memulai tindakan kekerasan. Sehingga bermunculan di negara maju istilah islamophobia (ketakutan terhadap islam). 

Dalam buku "Berislam Secara Toleran" yang ditulis oleh Irwan Masduqi mengatakan bahwa seorang Penulis kontroversial asal Kanada keturunan Iran, Ali Sina berpendapat "Setelah membaca Al-Quran saya terkejut. Saya terkejut karena saya melihat kekerasan, kebencian, ketiakakuratan, kesalahan secara saintifik, kesalahan matematik, absurditas logika, dan kekacauan gramatika. Setalah merasa pusing dan depresif, saya akhirnya menerima kesimpulan bahwa Al-Quran bukanlah kitab Allah, tetapi ayat-ayat setan, cerita bohong dan produk pikiran yang sakit".  

Ali Sina dan
puluhan juta orang yang takut akan islam seolah mengisyaratkan bahwa tindakan kekerasan atas nama agama islam tidak timbul dari bagaimana seorang Muslim memahami Al-Quran itu sendiri tetapi ayat-ayat Al-Quran lah yang mengajarkan kekerasan. Jelas, pendapat seperti ini lah yang mengacaukan peran agama islam sebagai agama yang rahmatan lil alamiin. Munculnya istilah islamophobia tersebut muncul sebagai akibat dari sekelompok orang yang memaksakan kehendak atas nama agama tanpa menerima lagi pendapat kelompok lain.  Tindakan seperti itulah yang perlu kita hindari ditengah keberagaman di negara Indonesia ini. 

Maka hanya ada satu yang harus menjadi pegangan kita sebagai pribadi yang beragama di Indonesia yaitu sikap toleransi. Toleransi tidak hanya dipandang dari sisi islam saja. Toleransi dapat juga dimaknai sebagai prinsip politik di dunia Barat modern. Misalnya, pada masa keemasan filsafat Yunani sejak Socrates (w. 399 SM). Toleransi ala Socrates mengasumsikan bahwa pengetahuan melahirkan kebijaksanaan, tetapi kebijaksanaan tidak dapat diproduksi oleh paksaan, melainkan oleh dialog yang toleran. 

Model kehidupan seperti ini yang memungkinkan kehidupan yang harmonis dengan menghargai perbedaan. Lalu, bagaimana toleransi ala Gus Dur? Seorang ulama kharismatik tersebut pernah dituduh sebagai neo-PKI. Bahkan Gus Dur mendapatkan gelar Bapak Tionghoa. Padahal jelas-jelas beliau merupakan seorang yang Muslim dan mantan Ketua Tanfidziyah PBNU (1984-1999) yang merupakan organisasi masyarakat islam yang terbesar di Indonesia. 

Sikap toleransi Gus Dur tidak muncul serta merta begitu saja. Namun, sikap toleransi itu muncul sebagai suatu penemuan setelah melakukan perjalanan panjang beliau. Dimulai pada lingkungan pesantren tradisional Tebuireng Jombang, Krapyak Yogyakarta dan Tegalrejo Magelang. Dari ketiga pondok tersebut memang banyak mengajarkan beliau arti toleransi sebab dalam pendidikan pesantren NU pada umumnya, toleransi merupakan ajaran yang sering disuguhkan para Kyai sehingga tertanam dihati para santri. 

Pesantren mengajarkan kepada Gus Dur jargon toleransi Al-Syafii (Imam Syafii): "Pendapat kami benar tetapi mungkin salah, sedangkan pendapat kalian salah tetapi mungkin benar". Jargon fiqih (disiplin keilmuan dalam islam) menunjukan bahwa kebenaran pemikiran manusia tidak bersifat mutlak dan tidak diperbolehkan merasa benar sendiri sembari menyalahkan pendapat orang lain.  Gus Dur banyak belajar dari AlSyafii tentang prinsip toleransi yang terbangun dari kerendahan hati yang didalamnya terdapat pengakuan kemungkinan salah pada diri sendiri.    

Pada pengembaraan seorang mantan Presiden RI ke-4 tersebut di Universitas AlAzhar Kairo dan Universitas Baghdad, beliau banyak mengenal tentang gagasan-gagasan pembaharuan islam yang berkembang di Timur Tengah. Al-Azhar merupakan Universitas Islam tertua di dunia yang mengusung moderatisme dan toleransi. Seorang tokoh reformis Al-Azhar kenamaan yaitu Muhammad Abduh pernah berkata: "Jika seseorang mengeluarkan kata-kata yang mengandung kemungkinan kekufuran dari seratus sisi tetapi mengandung keimanan dari satu sisi saja, maka arahkanlah kata-kata itu kepada keimanan dan tidak boleh dikafirkan". 

Hal itu senada dengan kritik Gus Dur terhadap kelompok islam garis keras yang mudah menyesatkan kelompok lain dalam Syiir Tanpo Wathon. Gus Dur menyatakan, "Akeh kang apal Quran hadise Seneng ngafirke marang liyane Kafire dewe ndak digatekke Yen isih kotor ati akale." Artinya, "Banyak orang yang menghafal Al-Quran dan hadis tetapi suka mengkafirkan orang lain. Orang kafirnya sendiri malah tidak diperhatikan. Hal itu terjadi karena hati dan akalnya masih kotor". 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun