Mohon tunggu...
Akhmad Bumi SH
Akhmad Bumi SH Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Pemuda Indonesia, Generasi yang Kosong?

28 Oktober 2018   10:24 Diperbarui: 3 November 2018   20:35 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Oleh Akhmad Bumi )*

28 Oktober 1928 -28 Oktober 2018, usia 90 (sembilan puluh) tahun pemuda-pemuda Indonesia dengan gagah berani mengikrarkan satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa-INDONESIA. Begitu bermakna Indonesia dimata kaum muda masa lalu. 

Nasionalisme dan demokrasi bergerak seiring dalam pergerakan nasional. Dimotori, digerakkan pemuda-pemuda progresif Indonesia. Indonesia maju, Indonesia bangkit, Indonesia jaya ada dipundak pemuda, cetus Poernomowoelan berapi-api saat rapat pemuda Indonesia di Gedung Indonesisch Huis Kramat 28/10/1928.

Lagu Indonesia Raya (Wage Rudolf Supratman) diputar saat kongres dimulai, Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku-pengikat kesatuan Indonesia Raya dari Sabang hingga Merauke. Sebelum kongres ditutup, pemuda-pemuda Indonesia mencetuskan rumusan hasil kongres-begitu monumental bagi sejarah bangsa hingga kini. Rumusan itu diucapkan sebagai Sumpah dan ikrar kesetiaan  'Pemuda - Pemuda untuk Indonesia'.

Menarik, ultah pemuda ke-90 kali ini berkenaan dengan kondisi bangsa yang morat marit, orentasi kehidupan berbangsa seolah sirna. Pemuda era 1928, semangat nasionalisme kaum muda sebagai reaksi terhadap bangsa kolonial yang menjajah Indonesia begitu heroik, melahirkan hal monumental dalam ikrar 'Sumpah Pemuda'.

Milad pemuda tahun ini, semestinya melahirkan misi dan kompetensi kaum muda untuk menjawab situasi bangsa yang tidak menentu. Misi dalam konteks penyebab kaum muda dilahirkan, dan mengapa pemuda perlu melakukan sesuatu. Proses kaum muda dalam mengemban misi memiliki ciri dan spirit yang spesifik. Oleh karenanya hanya bisa dimengerti dan dikelolah dengan cara pandang dan konsep kaum muda yang bebas kepentingan dengan menorehkan sesuatu yang berarti bagi bangsa dan negara.

Kondisi obyektif kaum muda yang terwadah dalam berbagai organisasi dan berinduk pada KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia), tidak bisa dilepaskan dari berbagai kepentingan yang bertarung. 

Oleh karenanya gerakan kultural pemuda Indonesia ditahun-tahun terakhir menjadi kehilangan arah, karena pemuda kerap mengekor pada 'kepentingan' akhirnya menjadi sesuatu yang tidak menarik untuk disantap.

Hal itu menjadi alat ukur realitas baru, dan seolah dipercaya menjadi kiblat pada kesadaran baru kaum muda. Jika pemuda dahulu membangun harapan besar untuk Indonesia dengan berjuang merebut kemerdekaan, tapi tidak merasakan gesekan-gesekan lintas kepentingan seperti yang melanda kaum muda saat ini. Dilain sisi kaum muda saat ini walau diberi ruang kebebasan tapi mereka membangun kerangkeng yang besar pada dirinya, tanpa disadari semua itu adalah kontradiksi dari peran dan orentasi sesungguhnya.

Oleh karenanya ketika peran kultural kaum muda hendak diarahkan dalam dinamika historis kebangsaan, sebuah tanda tanya dan kesangsian tiba-tiba muncul, mau bicara peran dan kepentingan siapa dan tentang apa?. 

Bukankah rumusan kaum muda Indonesia saat ini menampilkan mozaik yang dihimpit hiperalitas yang demikian rancu? Wajah generasi kita adalah gambaran tentang sebuah tanda tanya besar, seolah bopeng sebelah. Dititik ini, kebanyakan menyebutkan kaum muda telah kerasukan dengan apa yang disebut krisis kesadaran dan identitas diri.

Pemuda bukan sekedar pelanjut etape suatu kehidupan tanpa isi, tapi jauh dari itu arah dan masa depan Indonesia ada dipundak pemuda. Perjalanan pemuda menyatu dengan denyut nadi perjuangan bangsa, mulai dari pencarian identitas, pembentukan identitas hingga pada pemberian isi pada identitas, disini letak pemuda Indonesia, pemberi 'nilai' atas sebuah kehidupan yang lebih luas.

Paham kebangsaan (nasionalis) tidak dilahirkan untuk mengusung sebuah kepentingan sempit; sebuah ras, agama, komunitas atau partai politik tertentu, melainkan untuk sesuatu yang dibayangkan, kata Ben Anderson.

Pemuda-pemuda Indonesia dari Aceh hingga Papua, dari pulau Nias hingga pulau Rote-antara satu dengan lainnya tidak saling kenal, tidak saling bertemu, tidak berjumpa secara fisik, berbeda suku bangsa, berbeda warna kulit, berbeda ideologi dan orentasi politik-tapi dalam benak masing-masing pemuda Indonesia punya ikatan emosional-comradeship; ada semangat persaudaraan horizontal, semangat memiliki satu merah putih, semangat memiliki satu Indonesia.

Inilah pemuda Indonesia, mereka siap dan rela berkorban demi 'misi suci' yang dibayangkan mewujudkan cita-cita luhur kebangsaan, cita-cita Indonesia maju, cita-cita Indonesia bersatu, cita-cita Indonesia sejahtera.

Realitas menggariskan Indonesia hari ini yang secara kasat mata, bangsa seolah berada ditebing kehancuran. Realitas itu memberikan beban mahal yang harus dipikul dipundak pemuda-pemuda Indonesia, untuk saat ini dan dimasa depan. Jika pemuda-pemuda Indonesia tidak menyadari, maka dipundak pemuda-pemuda Indonesia hari ini akan hadir menjadi ancaman buat bangsa dan Negara.

Pemuda Indonesia mesti membayangkan dengan cerdas masa depan Indonesia yang besar ini, sebab telah menjadi kemestian sejarah bahwa pemuda hadir untuk merespons segala unek-unek kebangsaan. Pemuda bukan hanya dikenal saat-saat digelarnya Kongres, Munas, Mubes dll, setelah itu hilang tak berkesan buat bangsa dan negara. Perlu ada sebuah keyakinan besar dalam diri pemuda dengan pikiran-pikiran baru, progresifitas baru dalam diri generasi, sekecil apapun getarannya akan tetap bermakna untuk Indonesia.

Walau demikian, optimis selalu ada, masih ada harapan tersembunyi dibalik semua ini, pemuda Indonesia. Bukankah sejarah selalu bergerak linear, dan acap kali meledakkan momentum yang sulit diurai oleh akal sehat? 

Karena gerak nadi kehidupan bangsa saat ini tidak dan bukan sebatas teka-teki silang, hal yang tak bisa kita tebak tanpa kerja-kerja nalar yang cerdas, ia dan mereka bisa terbit pekan depan, selalu hadir dengan jawaban cerdas disaat-saat yang tak dijangkau oleh siapapun.

Untuk mengenang 90 tahun Sumpah Pemuda (28 Oktober 2018), menjelang se-abad kongres Pemuda Indonesia, pasti pemuda-pemuda Indonesia telah membayangkan masa depan Indonesia setelah hari ini. Pemuda Indonesia tentu tak ingin kehilangan momentum, tapi ingin menorehkan sesuatu yang monumental, atau nukhta-nukhta penting untuk sejarah bangsa, karena pemuda Indonesia tentu tak mau kehilangan identitas diri, jati diri dan pengisian diri, sebab jika ia melupakan itu, maka dihari depan ia dipermaklumkan sebagai generasi yang kosong. 

)* Penulis; Advokat, alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun