Dalam dunia pendidikan Indonesia saat ini dengan Kurikulum Merdeka membawa perubahan besar yang mengedepankan merdeka belajar siswa. Salah satu prinsip yang sepertinya dipegang adalah tidak ada siswa yang tinggal kelas. Sehingga secara otomatis siswa harus naik kelas. Namun, apakah konsep ini bisa bertujuan agar semua siswa diberikan kesempatan maksimal untuk terus maju dan berkembang sesuai kemampuan masing-masing?
Namun, dalam praktiknya prinsip tersebut tidak selalu bisa berjalan mulus. Ada kalanya guru dan sekolah harus menghadapi kenyataan bahwa ada siswa yang memang belum mampu mengikuti ritme belajar di fase atau kelas tertentu. Dalam situasi seperti ini, opsi tinggal kelas bukanlah sebuah kemunduran. melainkan sebuah langkah strategis demi kebaikan masa depan anak didik.
Tentu saja para guru sudah berusaha semaksimal mungkin membimbing dan membina potensi siswa. Guru bukan hanya mengajar tetapi juga menjadi pendamping, motivator, dan inspirator. Tidak ada guru yang ingin siswanya gagal atau tertinggal. karena keberhasilan siswa adalah kebanggaan dan tujuan utama pendidikan.
Sayangnya, kenyataan di lapangan seringkali berbeda. Ada siswa yang memang tidak mampu mengejar pelajaran karena berbagai faktor, baik dari sisi kemampuan kognitif maupun dukungan lingkungan. Kadang orangtua pun kurang memperhatikan kebutuhan belajar anaknya. seperti tidak memberikan les tambahan atau mendukung secara emosional dan moral.
Dilema terbesar muncul saat keputusan tinggal kelas harus diambil. Orangtua dan keluarga seringkali menolak. bahkan sampai mengadu ke Dinas Pendidikan tanpa sepengetahuan guru atau sekolah. Hal ini menciptakan konflik dan tekanan bagi guru yang sebenarnya berusaha terbaik melindungi kepentingan siswa.
Kurikulum Merdeka dengan sistem fase mencoba memberikan solusi fleksibel. Misalnya, Kelas 1 dan 2 masuk dalam fase A, Kelas 3 dan 4 dalam fase B, dan seterusnya. Sistem ini memberi kesempatan kepada siswa untuk memperbaiki dan mengejar ketertinggalan tanpa harus langsung terjebak dalam label "tinggal kelas".
Namun, apabila memang kemampuan siswa belum memungkinkan untuk naik ke fase berikutnya. keputusan tinggal kelas harus bisa diterima sebagai opsi terakhir demi menjaga kualitas pembelajaran dan masa depan siswa itu sendiri.
Tidak sedikit siswa di jenjang menengah yang ternyata memiliki kemampuan literasi dan numerasi yang jauh di bawah standar. Data dari PISA (Programme for International Student Assessment) menunjukkan bahwa Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam kemampuan dasar ini. yang sangat krusial untuk keberhasilan belajar selanjutnya.
Guru sudah menyiapkan bukti berupa data capaian belajar, hasil tes, dan pengamatan selama proses pembelajaran untuk mendukung keputusan tinggal kelas tersebut. Ini bukan keputusan sembarangan melainkan hasil evaluasi yang matang dan objektif.
Tinggal kelas bukanlah akhir dari segalanya. Justru, ini adalah kesempatan untuk memperbaiki pondasi belajar agar siswa lebih siap menghadapi tantangan berikutnya. Banyak contoh siswa yang berhasil bangkit setelah tinggal kelas dan justru meraih prestasi yang gemilang.