Bayangkan sebuah negara dengan kekayaan sumber daya alam melimpah dan potensi sumber daya manusia luar biasa. Justru terjebak dalam pusaran pengangguran yang semakin melebar.
Lulusan perguruan tinggi bertambah tiap tahun namun lapangan kerja tidak mampu mengejar kecepatan itu. Akibatnya banyak yang akhirnya menganggur. Stagnan, menunggu dalam ketidakpastian.
Ada yang menyerah pada keadaan. Ada yang sibuk menanti lowongan. Ada juga yang terlalu gengsi untuk turun ke pekerjaan yang dianggap "tidak sesuai ijazah".
Lulusan Sarjana merasa malu bekerja di level bawah. Padahal pekerjaan yang halal tidak ada yang hina. justru menunjukkan kemuliaan hati untuk terus bertahan dan berjuang.
Nah, di tengah fenomena pengangguran yang mencemaskan ini ada satu kelompok yang terus bertahan. Mereka bukan pekerja elite. Tapi merekalah pahlawan pendidikan: para guru (honorer).
Ya, guru honorer. Mereka adalah sosok luar biasa yang tetap mengabdi meski digaji sangat minim sekali. Tak jarang, hanya 300 ribu Rupiah per bulan. Kadang ada juga yang nominalnya dibawah itu.
Coba pikirkan baik-baik. Tiga ratus ribu!!! Tidak cukup untuk makan sebulan. Bahkan mungkin hanya cukup untuk beli kuota dan bensin motor.
Tapi mereka tetap hadir di kelas setiap hari. Menyapa siswa dengan senyum. Mengajar dengan hati. Membentuk masa depan bangsa dengan cinta, bukan karena materi.
Ini bukan sekadar pekerjaan. Ini adalah panggilan jiwa. Suatu keajaiban yang tidak semua orang bisa jalani.
Kita harus jujur berterus terang dan berani bicara. Gaji guru honorer adalah ironi. Mereka yang mencerdaskan kehidupan bangsa justru hidup dalam kecemasan ekonomi.