Selama beberapa tahun terakhir dunia pendidikan Indonesia mengalami fase eksperimental yang cukup signifikan. Salah satunya adalah penghapusan sistem penjurusan di jenjang SMA. Sebelumnya dibagi menjadi jurusan IPA, IPS, dan Bahasa. Lalu, ada jurusan Agama untuk di MA. Kini, di bawah kebijakan menteri baru sistem penjurusan kembali dihidupkan. Sebuah keputusan yang tentu saja kembali mengundang beragam reaksi. Ini mungkin dianggap sebagai langkah logis dalam mempersiapkan siswa menghadapi dunia perkuliahan yang menuntut kejelasan arah. Di sisi lain juga muncul kekhawatiran. Apakah anak SMA sudah cukup siap mengambil keputusan sebesar itu?
Kembali diadakannya penjurusan tampaknya menjadi bentuk reality check terhadap dinamika dunia kerja dan perkuliahan. Kampus-kampus menuntut mahasiswa yang tahu arah sejak hari pertama perkuliahan. Dengan persaingan yang semakin ketat tentu tidak ada ruang bagi mereka yang masih bingung menentukan tujuan.Â
Maka, SMA pun diharapkan kembali menjadi tahap pengarahan dan penguatan minat dan potensi akademik siswa. Namun, apakah penjurusan adalah solusi yang paling tepat atau justru jebakan yang baru dirasakan beberapa tahun ke depan?
Perlu disadari bahwa memilih jurusan adalah soal passion, interest, dan career mapping. Sayangnya, banyak siswa yang mengambil jurusan hanya karena ikut-ikutan teman, desakan orangtua, atau asumsi bahwa IPA lebih bergengsi dari jurusan lain. Paradigma usang ini harus dikikis agar penjurusan tidak menjadi sekadar formalitas.
Sebagai sebuah kebijakan, penjurusan bisa menjadi alat strategis untuk mengembangkan specialized skills. Namun, jika tanpa pembinaan karakter dan eksplorasi potensi yang mendalam maka penjurusan hanya akan menjadi pagar yang membatasi bukan jembatan yang mengantarkan. Sistem ini memerlukan pendekatan personalized learning, bukan sistem seragam yang memaksa semua siswa berjalan di jalur yang sama.
Memahami Tantangan Sesungguhnya
Tantangan penjurusan di era digital saat ini semakin kompleks. Profesi masa depan kerap membuktikan bahwa bukan lagi berdasarkan jurusan linear. Seorang sarjana Matematika bisa sukses di dunia desain grafis dan lulusan sastra bisa jadi data analyst.Â
Dunia kerja masa kini malah nampaknya "menormalisasi" hal tersebut. Maka, penjurusan harus dimaknai sebagai fondasi eksploratif bukan batasan yang kaku. Fleksibilitas menjadi kata kunci.
Pendidikan abad 21 menuntut kolaborasi antara kemampuan hard skill dan soft skill. Maka, sistem penjurusan harus memberi ruang pengembangan keduanya secara seimbang.Â
Jangan sampai siswa IPA dikejar target ujian tanpa kemampuan komunikasi. Atau siswa IPS dibiarkan ansos sehingga sering melakukan tawuran. Penjurusan menjadi ruang untuk memperdalam keahlian dan bukan menciptakan jurang antar siswa.
Dalam implementasi penjurusan seharusnya tidak hanya berbasis pada nilai akademik. tetapi juga memberikan perhatian lebih di sektor psikologis, pemetaan minat, serta potensi jangka panjang.Â