Libur lebaran selalu menjadi momentum paling dinanti. Bukan hanya karena berkesempatan berkumpul bersama keluarga tetapi juga karena banyak orang memanfaatkannya untuk berlibur ke berbagai destinasi wisata.
Setelah silaturahmi terjalin dan maaf saling terucap lalu momen lebaran beralih menjadi waktu healing bersama keluarga dan menyegarkan pikiran di tengah keindahan alam.
Di berbagai daerah, termasuk Sumatera Barat, tempat-tempat wisata mendadak kembali hidup. Yang semula sepi dan redup, kini menggeliat dan penuh keceriaan.
Fenomena ini menghadirkan geliat ekonomi baru. Warung atau tenda PKL dadakan bermunculan. Para pedagang menggelar dagangannya dan masyarakat sekitar memperoleh peluang cuan musiman.
Namun di balik semaraknya tempat wisata yang hidup kembali ada satu sisi kelam yang terus menghantui yakni masalah sampah yang tak kunjung selesai.
Sampah berserakan menjadi pemandangan yang tak asing di berbagai destinasi. Plastik makanan, botol minuman, tisu, dan berbagai sisa konsumsi mencemari keindahan yang ada.
Ironisnya, bukan hanya wisatawan yang abai. tapi juga para pedagang yang tak menyediakan tempat sampah di lapak mereka.
Pemandangan ini menjadi paradoks. orang datang untuk menikmati keindahan, tetapi justru merusaknya dengan tangan mereka sendiri.
Taman wisata yang seharusnya menjadi tempat menyatu dengan alam justru menjadi saksi bisu buruknya kesadaran kolektif terhadap kebersihan.
Mirisnya lagi, bahkan ketika tempat sampah telah tersedia dan masih banyak pengunjung yang memilih membuang sampah sembarangan.