Mohon tunggu...
Akbar Pitopang
Akbar Pitopang Mohon Tunggu... Guru - Berbagi Bukan Menggurui

Dikelola oleh Akbar Fauzan, S.Pd.I, Guru Milenial Lulusan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta | Mengulik Sisi Lain Dunia Pendidikan Indonesia | Ketua Bank Sampah Sekolah, Teknisi Asesmen Nasional ANBK, Penggerak Komunitas Belajar Kurikulum Merdeka | Omnibus: Cinta Indonesia Setengah dan Jelajah Negeri Sendiri Diterbitkan Bentang Pustaka

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Menghancurkan Pendidikan Dimulai dari Mempolisikan Pendidik

5 November 2024   14:18 Diperbarui: 6 November 2024   05:27 5971
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menggugat rasa keadilan dalam kasus-kasus mempolisikan guru. (Ilustrasi via Kompas.id)

Dalam beberapa tahun terakhir, profesi guru tampaknya tidak hanya menghadapi tantangan di ruang kelas, tetapi juga di ranah hukum. Kasus Supriyani, seorang guru honorer yang dituduh menganiaya anak polisi, menggugah kembali perhatian publik akan peran dan posisi guru di masyarakat. Fenomena ini tentu saja mencederai martabat guru, yang sejatinya berperan sebagai garda terdepan dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan bagi generasi penerus bangsa.

Ironisnya, Supriyani bukanlah satu-satunya guru yang terlibat dalam masalah serupa. Beberapa waktu yang lalu, publik juga dikejutkan dengan kasus seorang guru yang mengalami cedera serius pada mata akibat tindakan kasar dari orang tua siswa. Kasus ini menunjukkan adanya ketegangan antara pihak orangtua dan guru yang apabila tidak diselesaikan dengan baik, dapat berdampak buruk bagi ekosistem pendidikan.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, mengapa guru harus dipolisikan?
Apakah tidak ada jalan lain untuk menyelesaikan masalah selain melalui proses hukum? 

Masih banyak orang yang menganggap bahwa aksi menuntut guru ke pengadilan tampak berlebihan. Karena pada dasarnya, seorang pendidik sejati tidak akan pernah berniat menyakiti anak didiknya.

Masalah ini menunjukkan adanya ketidakharmonisan yang perlu dibicarakan dengan kepala dingin. Semua pihak yang terlibat ---guru, orangtua, bahkan siswa--- perlu duduk bersama, mendiskusikan masalah ini tanpa prasangka, dan mencari solusi terbaik untuk semua.

Di sisi lain, situasi ini bisa memicu kekhawatiran yang mendalam bagi para guru di seluruh negeri. Rasa was-was menyelimuti mereka, terutama ketika tindakan yang sebetulnya diniatkan untuk mendidik malah dapat disalahartikan dan berakhir dengan gugatan hukum.

Rasa cemas ini dapat mengurangi rasa tanggung jawab moral seorang guru dalam menjalankan tugasnya. Bagaimanapun, mendidik adalah seni yang tidak hanya mengandalkan pengetahuan akademis, tetapi juga melibatkan nilai-nilai kemanusiaan. 

Dalam mengajar dan mendidik, guru tidak hanya menyampaikan materi, tetapi juga berusaha "memanusiakan manusia."

 Supriyani (36), guru honorer yang menjadi tersangka penganiayaan siswa, sementara penahanannya ditangguhkan. (KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS)
 Supriyani (36), guru honorer yang menjadi tersangka penganiayaan siswa, sementara penahanannya ditangguhkan. (KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS)

Sayangnya, kepekaan tersebut seringkali terhalang oleh prasangka orangtua atau pihak lain yang memandang setiap tindakan guru dengan kecurigaan. Akibatnya, banyak guru yang menjadi ragu untuk memberikan arahan atau teguran pada siswa, karena takut akan tindakan balasan dari pihak orangtua.

Tidak sedikit guru yang akhirnya memutuskan untuk "main aman". Daripada berusaha lebih dalam mendidik karakter siswa, mereka memilih hanya untuk mengajar semata. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun