Mohon tunggu...
Akbar Febriyansyah
Akbar Febriyansyah Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa, Photographer, Freelancer

Mahasiswa Akuntansi Syariah yang ingin mulai menulis apapun yang ada di kepalanya

Selanjutnya

Tutup

Money

Berbelanja Online, Bagaimana Kaidah Fikihnya ?

13 Februari 2020   14:11 Diperbarui: 13 Februari 2020   14:21 685
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di zaman yang serba digital ini, kita tidak bisa memungkiri bahwa setiap kegiatan kita sehari-hari mulai dari bangun pagi sampai terlelap malam hari pasti selalu berhubungan dengan dunia digital. Mulai dari bekerja, ber-sosial media, bermain game online, bahkan hingga berbelanja sekalipun. Dari semua kegiatan yang kita lakukan, pernah terpikir gak sih oleh kita bagaimana kaidah fikih dari semua kegiatan kita yang berhubugan dengan dunia digital tersebut ? Untuk kesempatan kali ini, kita akan membahas mengenai kaidah fikih dalam berbelanja online.

Let's check this out !

Jual beli online itu diperbolehkan dengan ketentuan yakni barang yang dibeli halal dan jelas spesifikasinya, barang yang dibutuhkan (tidak ada unsur tabdzir), ada hal pembeli untuk membatalkan atau melanjutkan (menerima), jika barang yang diterima tidak sesuai dengan pesanan di awal, serta sesuai dengan skema jual beli yang diajarkan oleh Islam.

Kesimpulan ini berdasarkan telaah terhadap standar syariah internasional AAOIFI, fatwa DSN MUI terkait dengan jual beli dan ijarah, serta kaidah - kaidah fikih muamalah yang terkait dengan kegiatan tersebut.

Di antara rambu -- rambu fikih terkait jual beli online adalah sebagai berikut : Pertama, apa yang dibeli? Barang yang dibeli harus memenuhi kriteria sebagai berikut :

  • Barang / jasa yang halal. Oleh karena itu, tidak diperkenankan berbelanja / jual beli barang yang haram baik karena fisiknya seperti minuman yang memabukan / obat -- obatan terlarang, atau non fisiknya seperti mainan yang merusak moral anak-anak.
  • Barang / jasa yang diprioritaskan untuk dimiliki. Tidak membeli barang yang tidak dibutuhkan atau tersier agar tidak mengakibatkan pemubadziran yang dilarang. Sesuai dengan firman Allah SWT ;
  • " Sesungguhnya pemboros -- pemboros itu adalah saudara -- saudara syaitan ..." (QS. Al-Isra' : 27).
  • Barang yang dibeli harus jelas kriteria dan spesifikasinya seperti gambar, harga, warna, dan ukurannya seperti proses yang terjadi di lapak online, karena tidak berwujud atau tidak terlihat saat transaksi pembelian agar terhindar dari ketidakjelasan atau yang biasa disebut gharar. 
  • Pembeli diberikan hak atau khiyar untuk membatalkan jual beli atau menerima dengan kerelaan apabila barang yang diterima tidak sesuai dengan kriteria atau spesifikasi yang di pesan di awal.

Kedua, bagaimana cara membelinya ? Transaksi jual beli antara penjual dengan pembeli, baik jual beli tunai atau jual beli tidak tunai (barang diserahkan secara tunai, sedangkan harga yang diterima oleh penjual secara tidak tunai) itu dibolehkan. Hal ini berdasarkan hasil dari keputusan Majma' Al-Fiqh Al-Islami (Divisi Fikih Organisasi Kerjasama Islam / OKI) No. 51 (2/6) 1990 yang membolehkan jual beli tidak tunai dan fatwa DSN MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah.

Berdasarkan skema jual beli antara pemilik barang atau produk dan pembeli melalui market place, penjual berhak mendapatkan margin atas produk yang dijualnya sesuai kesepakatan. Sebagaimana hadist Nabi Muhammad SAW,

"dan kaum muslimin terikat dengan syarat -- syarat mereka kecual syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram." (HR. Tirmidzi)

Ketiga, diprioritaskan berbelanja pada tempat berbelanja / lapak yang bias memberikan kontribusi terhadap penguatan ekonomi masyarakat dan tidak melanggar peraturan perundang-undangan.

Keempat, berbelanja diniatkan beribadah kepada Allah SWT. Sehingga setiap berbelanja itu untuk keperluan ibadah kepada Allah SWT., seperti membeli mainan untuk anak-anak maka dipilih mainan yang kira-kira mendidik anak. Bukan sekadar bermain, apalagi sampai merusak pendidikan anak-anak.

Jual-beli melalui online seperti melalui lapak dan sejenisnya yang bias dilakukan dalam jual beli online itu sah dengan ketentuan di atas merujuk pada pendapat para ulama ahli fikih yang membolehkan transaksi antara penjual dan pembeli yang berbeda tempat. Juga pendapat mayoritas ulama yang membolehkan transaksi atas barang inden atau ready stock tetapi diserahterimakan/ dikirim oleh penual online kemudian, transaksi ini dikenal dengan Al-Bai Al-Maushuf Di Dzimmah atau jual beli dengan objek jual yang inden atau tidak tunai tetapi bias diketahui spesifikasi dan karakteristiknya. Juga keputusan standar internasional AAOFI yang memperkenankan ijab kabul dan serah terima melalui online apabila tradisi pasar dan otoritas mengakui hal tersebut.

Jadi seperti itulah teman-teman kaidah fikih dari berbelanja online. Semoga kita termasuk orang-orang yang tidak hanya sekadar menggunakan berbagai kemudahan dari dunia digital ini, tetapi mengetahui juga kaidah fikih dari setiap kegiatan yang kita lakukan.

Sekian.

Wassalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh.

Referensi :

Buku Ustadz Oni Sahroni, M.A., berjudul "Fikih Muamalah Kontemporer"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun