Mohon tunggu...
Akbar Tanjung
Akbar Tanjung Mohon Tunggu... Administrasi - Dreams to Plan, Plan to Action, Action to Goal, and Goal to Dreams

Aparatur Sipil Negara

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jika Aku Jadi Menteri Agama, 7 Hal Ini yang akan Saya Lakukan

4 Agustus 2018   07:15 Diperbarui: 4 Agustus 2018   08:21 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: pepnews.com

Di era milenial sekarang ini, sosial media sudah menjadi kebutuhan primer sebagian masyarakat. Sosial media yang dapat diakses bebas melalui smartphone memberikan ruang bagi pengguna untuk menerima dan memberi informasi kepada publik. 

Siapa saja dapat melakukannya, anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar pun sudah menggunakan smartphone. Tak heran jika mereka sudah mengenal dunia maya dengan bersosial media.

Sosial media merupakan jejaring sosial yang memungkinkan seseorang dapat berkomunikasi, memberi informasi dan menerima informasi melalui gambar, teks ataupun video. Sosial media sendiri sangat beragam, ada facebook, twitter, Instagram, line, bbm dan masih banyak lainnya. Sobat kompasianer pasti memilikinya.

Sobat kompasianer mungkin sudah tahu jika Facebook, Instagram dan twitter merupakan jejaring sosial media yang sering (aktif) digunakan. Facebook menempati urutan pertama dengan total pengguna aktif 41% dari 143,26 juta pengguna internet di Indonesia. 

Peringkat kedua ada Instagram dengan pengguna aktif 38%, sementara twitter berada pada peringkat ketiga dengan pengguna aktif 27% (Hasil Penelitian We Are Social tahun 2017, media asal Inggris).

Tingginya pengguna sosial media di Indonesia akan memberikan kesempatan kepada siapa saja untuk mengekspresikan dirinya. Namun, sangat disayangkan bila sosial media hanya digunakan untuk hal-hal yang negatif. Fakta yang terjadi, penggunaan sosial media di Indonesia justru banyak mendatangkan perkara.

Akhir-akhir ini, beranda sosial media banyak dipenuhi konten-konten yang tidak bermanfaat seperti berita hoax, penyebaran ujuran kebencian hingga aksi yang dapat mencederai kerukunan antaragama. 

Berbagai kasus pun terjadi, hingga menyeret mereka ke jeruju besi. Lebih mirisnya lagi, banyak dari mereka yang berstatus di bawah umur. Dengan kondisi seperti itu, pantaskah mereka mendapat kebebasan dalam bersosial media? Atau justru permintaan maaf sudah cukup mewakili kesalahan mereka lalu kemudian membebaskan mereka begitu saja?

Ujaran kebencian yang mengandung SARA sebenarnya sudah memiliki payung hukum. Dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Pasal 28 ayat (2) ditegaskan bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) akan terancam pidana hingga 6 tahun penjara serta denda maksimal Rp 1 miliar.

Dengan adanya payung hukum tersebut tentu akan mengurangi pelaku penyebaran berita hoax dan ujaran kebencian yang mengatasnamakan agama. 

Namun, payung hukum tersebut tidak serta-merta dijatuhkan pada pelaku yang terindikasi menyebarkan ujaran kebencian. Pro dan kontra pasti ada sehingga menjatuhkan pidana butuh proses yang panjang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun