Mudik Lebaran adalah tradisi yang dinanti jutaan perantau di seluruh penjuru negeri. Setiap tahunnya, jalanan dipenuhi kendaraan yang membawa cerita dan kerinduan, menempuh perjalanan panjang demi berkumpul bersama keluarga tercinta.Â
Namun, di balik haru biru perjalanan pulang ini, ada jejak yang tak kasat mata tetapi berdampak besar, yaitu jejak karbon. Pernahkah kita membayangkan, di tengah kebahagiaan merayakan Lebaran, ada ancaman lingkungan yang terus mengintai akibat tradisi ini?
Di sinilah pentingnya merawat tidak hanya tradisi mudik, tetapi juga menumbuhkan tradisi baru, yaitu tradisi sadar lingkungan.
Sebuah gagasan tentang mudik ramah lingkungan menjadi langkah kecil yang bisa membawa perubahan besar, menjaga agar perjalanan pulang tetap bermakna tanpa merusak bumi.Â
Tradisi Mudik yang Sarat Makna
Bagi banyak orang, mudik adalah lebih dari sekadar perjalanan fisik. Setiap kilometer yang ditempuh adalah wujud cinta dan kerinduan yang mendalam. Rasanya tak ada yang sebanding dengan momen saat kaki menginjak halaman rumah, disambut pelukan hangat keluarga, dan berkumpul bersama di meja makan yang penuh hidangan khas Lebaran.
Namun, di balik kebahagiaan itu, ada konsekuensi yang mungkin jarang kita pikirkan. Setiap kendaraan yang melaju di jalan raya meninggalkan jejak karbon di udara. Perjalanan sejauh 500 km dengan mobil pribadi, misalnya, menghasilkan sekitar 100 kg CO₂. Bandingkan dengan kereta api yang hanya menghasilkan 15–30 kg CO₂ untuk jarak yang sama. Ketika jutaan pemudik memilih kendaraan pribadi, bayangkan berapa banyak karbon yang dilepaskan ke atmosfer.
Tak hanya transportasi, aktivitas lainnya selama mudik juga berkontribusi pada jejak karbon. Penggunaan plastik sekali pakai, makanan instan dengan kemasan plastik, hingga listrik berlebih di rumah yang tiba-tiba penuh dengan sanak saudara — semua itu menambah beban bagi bumi.
Dampak yang Tak Terlihat: Jejak Karbon Selama Mudik
Mungkin selama ini kita tak menyadarinya, tapi dampak dari kebiasaan ini nyata adanya. Udara di sepanjang jalur mudik menjadi lebih pekat dengan polusi, langit biru berubah kelabu, dan kualitas udara menurun drastis. Tak jarang, pemudik mengeluhkan gangguan pernapasan akibat asap kendaraan.
Perubahan iklim yang semakin ekstrem juga menjadi peringatan keras bagi kita. Musim hujan dan kemarau tak lagi bisa diprediksi. Beberapa daerah mulai mengalami penurunan debit air tanah, sementara hujan asam akibat polusi merusak sumber air bersih. Jika tak ada tindakan nyata, tradisi mudik yang kita cintai ini mungkin akan semakin sulit dilakukan di masa depan.
Coba bayangkan sejenak. Apa gunanya kita bersusah payah mudik jika rumah yang ingin kita tuju terendam banjir akibat cuaca ekstrem?Â
Bagaimana kalau perjalanan yang seharusnya membawa kebahagiaan malah terhenti karena hujan badai, penerbangan tertunda, jalur kereta terputus oleh longsor, atau perjalanan yang rusak akibat pohon tumbang?Â
Lebih dari itu, bagaimana jika orang-orang yang kita cintai di kampung halaman menjadi korban dari bencana yang dipicu oleh perubahan iklim?Â
Semuanya berawal dari jejak karbon yang kita tinggalkan. Ancaman ini bukan lagi sekadar kemungkinan, melainkan kenyataan yang semakin sering terjadi. Cuaca ekstrem tak hanya mengganggu perjalanan, tapi juga merenggut rasa aman dan kebersamaan yang kita rindukan.Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!