Mohon tunggu...
Ajun Pujang Anom
Ajun Pujang Anom Mohon Tunggu... Guru - Guru Plus-plus

Sedang menikmati peran sebagai guru sekaligus penulis, dan pembicara di bidang literasi, metode pengajaran dan media pembelajaran.

Selanjutnya

Tutup

Humor

Tahun Baru yang Membawa Berkah (2)

11 September 2018   20:30 Diperbarui: 11 September 2018   20:55 528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sesampai di rumah ortu. Istirahat  barang semenit dua menit. Lalu ambil alat-alat kebersihan dan melakukan aksi sweeping di semua sudut ruangan dan halaman. Ini aksi sweeping yang sebenarnya. Ingat sweeping itu artinya menyapu atau menyisir untuk mencari biang kotor. Bukan untuk mencari manusia. Jangan karena berbeda pemahaman, lantas seenaknya maen fentung. Sakit tau!

Aksi sweeping ini bukan dimaksudkan, biar kami dicap anak yang soleh. Sekali-kali tidak. Yah karena memang rumahnya sudah kotor, ya harus dibersihin. Meskipun ini menguras tenaga. Bagaimana tidak menguras tenaga, lha wong luas halaman hampir 1.000 meter persegi.

Wah kaya dong ortunya? Kalau memakai ukuran jaman dulu. Tanah seluas ini, belumlah disebut kaya. Apalagi tanahnya dekat bantaran sungai. Setiap tahun pasti langganan banjir. Jadi waktu itu, tanah semacam ini, jarang yang mau beli. Apalagi yang mau menempati, mana sudi? Tapi jaman sudah berubah. Setelah ada tanggul baru sekitar tahun 90-an, merdekalah kami dari "penjajahan" air Bengawan Solo.

Dan sesuai dengan hukum ekonomi, dimana ada demand yang naik, tapi supply tetap, maka terjadilah kenaikan harga. Begitu pula tanah di sekitar kami, banyak orang-orang yang memburu tanah di kampung kami. Maklum, jarak dengan pusat cuma 300 meter. Siapa yang tak tergiur untuk menguasainya?  Maka wajar, harga tanah terus melejit. Dan pastinya juga pajak bumi dan bangunan ikut terkerek.

Pukul 2 siang yang secara ilmiah puncak-puncaknya suhu panas, kami memilih pulang. Jelas di waktu seperti ini, jalanan menjadi lengang. Sebab siapa sih yang mau kelayapan di terik-teriknya hari?

Di perjalanan pulang, kami mampir dulu di sebuah supermarket. Jangan dituduh ngadem lho ya. Ini sekedar mau beli cemilan buat kajian anak-anak mahasiswa. Mumpung ada jajaran jeruk baby, ya belilah sekiloan. Buah kesukaan keluarga. Cuma kami heran ini buah, namanya kok jeruk baby.

Apa yang konsumsi si orok? Nggak mungkin kan. Apa karena bentuknya yang kecil? Apalagi ini, jelas di luar nalar. Jelas-jelas ukurannya sama seperti jeruk lainnya. Ah sudahlah, tak usah dipikirkan urusan jeruk ini. Soalnya tak ada gunanya. Ini sama halnya  ngurusi pertikaian bala cebong sama bala kampret.

Tiba di rumah, segeralah kami gotong royong. Karena sesuai janjian, anak-anak mahasiswa datang Bakdal Ashar. Tak ada yang namanya cowok dan cewek dalam hal beginian, semua setara. Yang nyapu tak harus cewek, cowok juga harus bisa. Seperti juga angkat kursi, tak wajib cowok, cewek pun harus mampu.

Akhirnya setelah beberapa menit, datanglah yang ditunggu-tunggu. Yaitu segerombolan mahasiswa ke rumah kami. Tanpa basa-basi, segeralah saya memulai kajian. Ini memang sudah karakter saya, yang tak suka basa-basi. Sebab basa-basi bisa menyebabkan bahasan jadi basi. Nggak enak dong. Setelah beberapa lama memberi ulasan, tibalah saatnya memberi pertanyaan yang menohok. Intinya mahasiswa-mahasiswi ini harus dikerjain.

Saya ambil sebungkus plastik yang berisi kertas dan pulpen, lalu tanyakan ke mereka, "Apa maksud dari bungkusan ini?". Kira-kira apa jawaban mereka? Coba sebagai pembaca yang baik dapat mereka-reka kira-kira apa yang dalam pikiran mereka? Sebab Tahun Baru Hijriyah ini adalah masa untuk bermuhasabah, merenung. Pasti soal seperti ini mudah menebaknya.

Eits, tunggu dulu. Kisah ini belum berakhir. Pasca Isya', istri saya bilang, "Mau nggak dibeliin baju baru?". Pertanyaan khas perempuan-perempuan masa kini, bertanya dengan "nada negatif". Meski begitu, saya tak ambil pusing. Tak berpikir terlalu dalam. Langsung saya jawab dengan mesra, "Kamu kok baik sih sayang." Dan seperti biasa, istri saya merespon dengan lantang, "Gombal." Demikianlah kisah ini, berakhir dengan manis.

Bojonegoro, 11 September 2018

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun