Mohon tunggu...
AJ Susmana
AJ Susmana Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

AJ Susmana, dilahirkan di Klaten. Dapat dihubungi via Email ajsusmana@yahoo.com Selain menulis, berbagai isu sosial, budaya dan politik, juga "menulis" lagu.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Membangun Republik Tanpa Hukuman Mati

25 Februari 2023   22:34 Diperbarui: 25 Februari 2023   22:39 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Bahkan di negeri  para filosof  yang mencintai  kebijaksanaan dan demokrasi  itu berlaku hukuman mati.  Sementara filosof adalah simbol peradaban dan rasionalitas.  Socrates,  sang filsuf dan sang guru menerima hukuman mati dengan rela dengan cara meminum racun. Hampir tak ada pemberontakan.  Tak ada protes. Yang ada adalah kegelisahan dan perasaan sesal.  Mengapa semua itu harus ditanggung Socrates..? Semua itu karena menghargai dan menghormati  hukum demokrasi..?

Socrates sendiri harus menjalani hukuman mati itu karena adanya tuduhan yang serius yaitu mengajarkan ajaran sesat yang bisa merusak moral dan pikiran para pemuda. Hukuman mati itu tentu saja dijalankan demi dan atas nama keselamatan Negara dan bangsa. Kisah yang terkenal  ini terjadi kira-kira 400 tahun sebelum kelahiran Kristus. Kristus sendiri  juga menerima hukuman mati dengan cara disalib dengan tuduhan yang hampir sama dengan Socrates: guru sesat yang membahayakan kekuasaan agama dan politik. Socrates menjadi sangat terkenal karena kisahnya ditulis oleh Plato, muridnya dengan judul Apologia yang berarti Pembelaan.  Demikian juga kisah Yesus Kristus dalam Injil yang berarti Kabar Gembira dan Kisah Para Rasul. Di Nusantara, kisah yang hampir serupa itu terjadi pada masa Kerajaan Islam di Jawa hampir 2000 tahun sesudah Socrates, yaitu pada kisah Syech Siti Jenar.

Setelah Socrates, Yesus, Syech Siti Jenar...hukum mati terus berlangsung  sampai hari ini; dengan berbagai cara dan alasan; rela maupun tidak rela. Hingga menimbulkan pertanyaan: apakah harus hukuman mati itu dipertahankan. Pro kontra terhadap pelaksanaan hukuman mati  pun terus mengemuka dan juga menjadi gerakan  untuk menghapuskan hukuman mati apapun kasusnya.

Republik Indonesia sejauh ini masih mempertahankan hukuman mati.  Republik di bawah Jendral Soeharto, vonis mati dan eksekusi mati kebanyakan ditujukan kepada para pejalan komunisme. Di bawah Pemerintahan Joko Widodo, kekuasaan juga menjadi nyata atas hidup dan mati anak manusia. Beberapa orang bisa dieksekusi mati hari ini dan satunya bisa ditunda: entah untuk terus hidup atau hanya menunda kematian datang lebih cepat. Vonis mati Sambo baru-baru ini pun seakan diiringi tepukan kepuasan karena dianggap setimpal. Tuduhan serius yang ditimpakan pada mereka ini adalah  menyalahgunakan Narkoba yang dapat menyesatkan dan merusak mental dan moral para pemuda. Hukuman mati dijalankan demi keselamatan Negara dan bangsa. Ini terjadi kira-kira  2500 tahun sesudah Socrates dituduh sesat dan dihukum mati. Walau begitu, tidak ada koruptor yang dihukum mati di Indonesia.  

Dengan demikian, jelas dalam lintasan sejarah, alasan demi keselamatan Negara dan bangsa atau melawan ajaran sesat yang merusak kaum muda dan rakyat hampir selalu menjadi alasan untuk diadakannya hukuman mati.  Dan yang menjadi alas untuk semua alasan dalam sejarah itu kesimpulannya jelas yaitu mempertahankan kekuasaan. Hanya kekuasaanlah yang bisa menentukan hidup atau mati. Keinginan atau kehendak untuk berkuasa (abadi) tanpa ancaman yang berarti sering menggunakan hukuman mati sebagai salah satu cara. Karena itu penghapusan hukuman mati atau tetap mempertahankan hukuman mati berada dalam koridor politik kekuasaan. Begitulah politik para penjajah termasuk Belanda dan Jepang atas kita. Berapa ribu rakyat pejuang divonis mati dan dieksekusi mati oleh Belanda yang mempertahankan rust en orde  pemerintahan kolonialnya? Vonis mati oleh Jepang? Betapa kekuasaan penjajah telah menghilangkan harapan hidup untuk tanah air yang gemah ripah loh jinawi.

Ketika kemerdekaan itu akhirnya tercapai, hukum-hukum yang berlaku di masa penjajahan terutama kitab hukum Belanda yang telah merugikan rakyat pejuang pun tidak serta merta  bisa dihapuskan segera. Sukarno yang terkena pasal Karet lantas berkuasa pun tidak mencabut pasal Karet yang pernah menjerat dirinya hingga akhirnya terkena pasal Karet lagi di bawah Republik Jendral Soeharto dan Orde Baru bahkan ajarannya pun: marhaenisme digolongkan sesat dan dituduh membahayakan keselamatan Negara dan bangsa sehingga tidak layak disebarluaskan di kalangan pemuda. Amir Syarifuddin yang divonis mati oleh Jepang tapi lolos dari eksekusi mati oleh Jepang justru tidak lolos dari hukuman mati atas nama Negara Republik yang diperjuangkannya sendiri. Ironis dan tidak masuk akal.

Tapi begitulah perjalanan Republik. Melihat kenyataan-kenyataan historis perjuangan rakyat dan kaum republiken serta bagaimana kekuasaan kolonial dengan berbagai cara mempertahankan kekuasaan penjajahannya, dalam  perjalanan Republik ke depan barangkali Republik yang kita bayangkan itu adalah republik tanpa hukuman mati sebagai bagian dari perjuangan menuju masyarakat adil dan makmur yang membahagiakan lahir dan batin. Kita ingin membangun Republik yang hidup sebagaimana cita-cita Proklamasi. Pancasila, Gotong royong dan musyawarah mufakat menjadi landasan dan cara membangun kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam gotong royong dan musyawarah mufakat, hukuman mati tentu tidak mendapatkan tempat walaupun tentu saja para terpidana kelas berat harus mendapat hukuman yang setimpal. KUHP yang sekarang, dengan memberi kesempatan para terpidana mati untuk bertobat dalam rentang 10 tahun ke depan setelah vonis mati dijatuhkan final, tentunya, seharusnya  dalam kerangka ini. Bukan untuk memberi peluang para koruptor bergentayangan di rumah penjara dengan menjual sertifikat pertobatan, misalnya.   

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun