Mohon tunggu...
Aji Syach
Aji Syach Mohon Tunggu... profesional -

Sedang belajar menulis, menyukai kutipan "Ta'abbud mendaki ke atas, sedangkan isti'nah turun ke bawah. Yg melakukan ta'abbud adalah hamba, sedangkan isti'nah adalah Tuhan. Siapa yang naik akan memancing yang di atas untuk turun menyambut. Kalau tidak pernah naik, jangan harap akan ada yang turun"

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Malam puasa ke 8, nangkep tuyul dikasih 100 Juta

18 Agustus 2010   21:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:54 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_231260" align="alignleft" width="275" caption="Ilustrasi (Sumber: fact4win.blogspot.com)"][/caption] Sedang asyik-asyiknya coding dan melakukan percobaan penetrasi jaringan agar virus dapat menyebar melalui Local Area Network (LAN), tiba-tiba saya dikejutkan dengan nyala batang korek api yang terlempar dari sudut ruang kerja. Saya tidak tahu siapa yang melempar batang korek api yang menyala ke arah samping meja kerja saya. Yang saya rasa saat itu kaget bercampur tanya besar di kepala. Tidak ingin menyia-nyiakan keasyikan otak yang sedang menemukan 'gaya' coding yang menyenangkan, saya pun meng-acuhkan kejadian ganjil yang baru saja terjadi. Saya lihat jam di system tray komputer sudah menampilkan angka 01:45 WIB. Pesanan perangkat lunak untuk tugas akhir pun sudah selesai saya kerjakan dan tinggal melakukan pengujian. Kejadian ganjil itupun kembali terjadi. Kali ini nyala batang koreng api yang dilemparkan dari sudut ruang kerja saya jelas sekali terlihat karena mata saya saat itu sedang memperhatikan asal batang korek api yang menyala sebelumnya. "Astaghfirullooh..!!" saya kembali kaget. Saya bergegas keluar dari ruang kerja untuk mengambil wudlu. Setelah selesai, saya kembali masuk kedalam ruang kerja. Betapa sangat terkejutnya saya melihat 10 batang korek api yang telah menyala sebelumnya berserakan di lantai. Saya hanya bergumam dalam hati "Makhluk apa yang melakukan ini di bulan ramadhan seperti sekarang.." Masih diselimuti pertanyaan dan rasa kaget yang belum kunjung hilang, saya matikan lampu ruang kerja, saya tutup pintu hanya separuh dengan harapoan saya dapat melihat aktifitas didalam ruangan. Tidak begitu lama saya berdiri sampil mengintip, "Subhaanallooh..!!" saya melihat nyala batang korek api ke-11 yang kini tidak terlempar, tapi terlihat seperti ada yang membawanya berjalan. Reflek saya membaca sebuah 'bacaan' yang di ijazahkan (diberikan izin untuk membacanya) oleh KH. Ushfuri Anshor (Khodim Ma'had Al-Ishlah - Jatireja Kab. Subang). Batang korek api masih menyala tapi kini tidak tampak bergerak persis disamping meja kerja. Selesai membaca 'bacaan', saya teriak "Hei makhluk..!!! Keluar kamu...!!!" Saya buka pintu lebar-lebar, samar-samar dalam gelap saya lihat sosok kecil yang sedang mengacungkan batang korek api yang nyalanya hampir habis. Saya kembali teriak "Diam kamu disitu..!!". Sosok makhluk bertubuh mungil berwarna agak kehijauan yang saya bentak itu memelotokan matanya yang berwarna merah kearah saya dengan pandangan penuh benci. Entah apa yang membuat nyali saya sekeras baja saat itu, saya tidak merasakan takut sedikitpun melihat tatapan mata si makhluk yang seperti terbakar. Herannya, makhluk hijau bertubuh mungil itu sepertinya tidak dapat bergerak atau terdiam kaku. Hanya bola matanya saja yang merah kadang melirik dan mulutnya meracau tak karuan. "Hei makhluk..!! Siapa kamu ??!!" bentak saya sembari menatap tajam bola matanya yang merah. Makhluk mungil itu hanya terdiam sambil keluar suara racauan dari mulutnya yang saya tidak mengerti. Hingga pertanyaan yang sama saya lontarkan untuk yang ketiga kalinya, si makhluk mungil itu baru menjawab. "Ssa-ssa-saaya Sughri.." rupanya si makhluk ini takut kepada saya. Suaranya yang terbata-bata saat menyebutkan nama sudah cukup membuat saya tahu bahwa dia sedang dalam ketakutan besar. Semakin lama saya melihat makhluk itu, semakin jelas saya melihat sosok asli dari makhluk mungil itu. Dalam hati saya bertanya "Apa ini yang dinamakan Tuyul???" Tubuh kecil, kuping agak panjang, berambut merah hanya sedikit di bagian belakang kepalanya, bermata merah dan bermulut kecil. Tapi anehnya, si makhluk yang mengaku bernama Sughri itu mengenakan baju semacam singlet longgar berwarna kusam. Terlihat baju yang makhluk itu kenakan berisi sesuatu yang saya sendiri belum bisa memastikan apa isinya. "Apa maksud kamu melemparkan korek kearah saya?" saya kembali bertanya. "Ss-ssaa-ssaya ingin menn-menn-arik perha-ha-tian anda.." Jawabnya masih terbata-bata. "Apa tujuan kamu menarik perhatian saya?? " "Ssa-saya hanya ber-bermaksud menggoda ss-sa-saja.." Kali ini si mahkluk sangat gugup dan ketakutan. Saya merasa kasihan dengan si Sughri ini yang kaku tidak bisa bergerak. Akhirnya saya baca 'bacaan' lainnya yang merupakan 'jawaban' atas 'bacaan' saya yang pertama. Selesai membaca, ajaibnya makhluk ini lemas lunglai terdudukdengan kepala tertunduk. Saya yang semula membungkuk, kini jongkok untuk menyetarakan posisi agar dialog berlanjut lebih nyaman. Saya lanjut bertanya... "Darimana kamu??" "Saya pulang mencuri dari rumah ********** (menyebutkan nama seorang warga Tionghoa)" Jawab si Sughri menyebutkan beberapa nama warga Tionghoa/Cina di daerah saya dalam keadaan masih menunduk. "Apa yang kamu curi?? Uang?? Perhiasan?? " Si makhluk bernama Sughri yang saya tanya diam, dia memasukkan dua tangannya kedalam baju singlet longgar dan kemudian mengeluarkan gepokan uang yang masih berlabel sebuah bank dan ditaruh berjejer dilantai persis di depan saya. "Subhaanallooh.." ada sepuluh gepok uang seratus ribuan berlabel bank terkenal didepan mata saya. Kalau saya tidak salah memperkirakan, jumlahnya sekitar 100 jutaan. Belum habis rasa terkejut saya, si Sughri mengeluarkan sebuah dompet khas ibu-ibu berwarna merah dihiasi manik-manik. Sambil memperhatikan gepokan uang dilantai dan sebuah dompet, saya kembali bertanya kepada makhluk yang mungkin adalah Tuyul ini.... "Siapa yang menyuruh kamu mencuri?? Siapa majikan kamu??" "Saya diperintah Nyonya ************ (menyebutkan nama orang)" Jawab si Sughri sembari berdiri walaupun masih tertunduk. Kali ini posisi makhluk mungil ini sejajar dengan saya yang jongkok. Ternyata tingginya tidak lebih tinggi dari saya saat jongkok. "Izinkan saya pulang.. Biar majikan saya tidak marah. Uang dan dompet ini saya tinggal disini.." Setengah merengek, si Sughri meminta izin kepada saya. Belum sempat saya izinkan dia pergi, tubuh mungilnya sudah lari secepat kilat menembus rak buku dan dinding ruang kerja saya. Hilang sudah makhluk mungil Sughri dari pandangan saya. Kini yang bersisa hanya tumpukan uang seratus ribuan dilantai dan dompet merah. Saya coba buka perlahan dompet merah, terdapat beberapa kartu ATM dan kartu Kredit tapi tidak ada kartu identitas didalamnya. Saya rogoh bagian dalam dompet dan saya temukan lipatan sapu tangan putih. Saya beranikan diri untuk membuka lipatan sapu tangan putih itu, ada dua buah cincin dan satu gelang emas. Didalam lipatan itu juga saya temukan kertas putih bertuliskan "Kenangan dari Papih tercinta" "Subhaanallooh.. Walhamdulillaah.. Walaa ilaaha illallooh.. Alloohu Akbar..!!!" seketika itu juga saya lipat kembali sapu tangan putih itu dan kemudian saya masukkan kedalam dompet, persis pada tempat semula. Jantung saya kini berdebar kencang, kaki saya gemetar. Untuk berdiri saja saya tidak mampu. Rasa takut dan was-was kini begitu besar bergejolak. "Yaa Rabb.. Apa yang harus hamba lakukan??"Jerit hati kepada penguasa hati. Suara orang dari speaker masjid dan musholla sudah bersahutan membangunkan warga untuk makan sahur. Saya pun masih gemetaran dengan perasaan cemas memikirkan tumpukan uang 100 juta dan dompet berisi barang berharga. Hingga saya makan sahurpun hati saya masih berdebar-debar. Bahkan hingga turun sholat shubuh dan saya menulis cerita ini, dua lutut saya masih gemetaran dan hati masih berdegub kencang. Bukan lantaran telah bertemu dengan makhluk mungil Sughri, tapi lebih kepada tanggung jawab saya akan tumpukan uang 100 juta dan dompet merah yang ditinggalkan Sughri.. "Allohumma anta yaa robbi... Apa yang harus hamba lakukan??" Sumber: حلمي

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun