Mohon tunggu...
Ajinatha
Ajinatha Mohon Tunggu... Freelancer - Professional

Nothing

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Memberantas Korupsi Kok Cuma dengan OTT?

5 Oktober 2019   07:58 Diperbarui: 5 Oktober 2019   10:49 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: Tempo.com

Hampir setiap hari pemberitaan media, terutama media online memberitakan Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK, terhadap pelaku Tindak pidana korupsi (Tipikor). Seakan-akan korupsi tidak ada habisnya, dan OTT tidak ada pengaruhnya terhadap perilaku tersebut.

Setelah jajaran kepala daerah dan anggota legislatif, sekarang gilirannya pejabat dibawah naungan berbagai BUMN yang disasar OTT. Sepertinya ada yang salah dalam pemberantasan korupsi. Antara penanggulangannya dan penerapan sanksi hukumnya tidak seimbang.

Lihat saja produk hukum yang dilegislasi DPR, tiga diantaranya terkait dengan tindak kejahatan Korupsi. UU KPK yang baru disahkan, RKUHP yang ditunda pengesahannya, dan UU Pemasyarakatan.

Dari ketiga produk Undang-Undang tersebut, ada poin-poin yang memang memberikan kenyamanan pada koruptor. 

Baca juga: "Bela Koruptor dalam Satu Tarikan Napas Tiga RUU"

Artinya mau sehebat apapun Pemberantasan korupsi dilakukan, setiap menit dan setiap jam OTT dilakukan, jika pelaku tindak pidana korupsi tidak diberikan sanksi yang maksimal, kejahatan Korupsi akan terus ada.

Anggaran KPK

Kita tidak sungguh-sungguh dalam Pemberantasan korupsi. Padahal anggaran yang dikucurkan Pemerintah kepada KPK untuk Pemberantasan korupsi tidaklah sedikit. Pagu anggaran KPK untuk tahun 2020 sebesar 1,4 Triliyun.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengajukan penambahan anggaran Tahun 2020 sebesar Rp 580,14 miliar dari pagu indikatif yang telah ditetapkan yang sebesar Rp 828,17 miliar. Sumber

Bukan berarti dengan anggaran yang segitu besar, KPK harus selamatkan uang negara lebih besar dari itu. Esensinya bukanlah seperti itu. Pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK harus efektif, mampu mengurangi tindak kejahatan korupsi.

Memang apa yang dilakukan KPK cukup menaikkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK), dari 37 naik satu poin menjadi 38 untuk tahun 2018, namun kerja KPK akan terasa lebih efektif lagi jika sanksi hukum yang diterapkan pada pelaku Tipikor lebih berat lagi, yang dapat memberikan efek jera pada Koruptor. Sumber

Sinergisitas antara KPK dengan lembaga penegakan hukum lainnya, juga lembaga pemasyarakatan harus lebih baik lagi. Tidak terkoordinasinya kerjasama antar lembaga akan mempengaruhi efetivitas Pemberantasan korupsi.

Lihat saja para Koruptor merasa nyaman-nyaman saja di lembaga pemasyarakatan. Sebagai tersangka korupsi, mereka adalah binaan lembaga pemasyarakatan. Istilah binaan ini sangat subjektif, tidak terpantau secara efektif dalam kesehariannya.

Yang lebih hebatnya lagi, para Koruptor ini tidak kehilangan hak politik. Mereka tetap bisa mencalonkan diri menjadi anggota legislatif, juga tetap bisa mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah. Inilah istimewanya Koruptor dinegeri ini.

Jadi tidak heran kalau OTT KPK hampir rerata orang-orang yang terkait dengan Pemerintahan, seperti, Kepala Daerah, Anggota Legislatif, dan direksi BUMN. Inikan orang-orang yang berada digarda terdepan, penentu kebijakan.

Korupsi adalah kejahatan sindikasi yang terorganisir, yang pelakunya berjamaah dalam menguras uang rakyat. Makanya kejahatan korupsi tergolong Extra Ordinary Crime, bukan kejahatan biasa. Seharusnya sanksi hukum yang diterapkan lebih berat lagi.

Betapa geramnya Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, begitu tahu beberapa direksi BUMN tertangkap tangan KPK. Sri mencap mereka sebagai penghianat negara, dan perilaku tersebut bisa merusak kinerja karyawan dilingkungan BUMN.

Sebagai masyarakat tentu saja kita juga mengecam tindakan tersebut, tapi wewenang masyarakat cuma sebatas menggugat Undang-Undang yang dihasilkan DPR, sementara kejahatan korupsi sendiri banyak menjerat kader Partai politik, baik di lembaga legislatif, maupun yang menjadi kepala Daerah, juga di Kabinet.

Apalah daya masyarakat, kalau semua kekuasaan ada ditangan Partai politik, yang sudah sangat oligarkis. Semua dikooptasi dan diorganisir sesuai dengan kepentingan politik partai. Inilah yang harus diawasi. Kita tidak bisa membiarkan Partai politik mengangkangi Pemerintahan dengan seenaknya.

Mahasiswa yang menyalurkan aspirasinya haruslah memiliki kemampuan dan pengetahuan yang argumentatif, tahu persoalan dan mengerti apa yang menjadi tujuan, bukan sekedar ramai dan banyak, tapi cuma menjadi buih dilautan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun