Mohon tunggu...
Ajinatha
Ajinatha Mohon Tunggu... Freelancer - Professional

Nothing

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mudahnya Fadli Zon Menulis Puisi

7 Februari 2019   07:20 Diperbarui: 7 Februari 2019   07:29 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : Detikcom.com edit by Ajinatha

Benarlah kalau dikatakan menulis itu bagian dari meluapkan kegelisahan, kegelisahan terhadap apa yang dilihat, didengar dan dirasakan. Kadang reaksi kegelisahan itu begitu spontan, sehingga mengalir saja saat dituliskan, tapi kalau semua kegelisahan itu dituliskan, tanpa pertimbangan akal, maka bisa saja apa yang dituliskan menjadi petaka.

Inilah yang sedang dialami Fadli Zon, sebagai seorang Anggota Dewan, yang juga merupakan Wakil Ketua DPR, aktivitasnya menulis puisi terbilang produktif. Mungkin bagi Fadli menulis puisi itu begitu mudah, semudah memaki dengan kemasan kata yang puitis dan simbolik. Kadang susah membedakan mana makian dan mana karya puisi.

Saya sendiri juga sering menulis puisi untuk anggota Dewan, ya seperti itulah luapan kegelisahan yang saya tuangkan, kadang saya sendiri juga bingung, apakah yang saya tuliskan tersebut sebuah puisi, atau hanya sekedar luapan kekecewaan terhadap kinerja anggota Dewan.

Gimana tidak kecewa kalau anggota dewannya seperti Fadli Zon, yang produktivitasnya setiap hari cuma meluapkan kebenciannya sebagai oposisi, disaat produktivitas DPR dituntut lebih produktif dalam menyelesaikan produk Undang-undang, dia malah cuma sibuk menyerang lawan politiknya.

Memang menulis puisi itu sangat mudah, kalau isinya cuma meluapkan perasaan benci, karena hanya sekedar menuliskan, mengemasnya dengan bahasa satire dan simbolik, tapi berpuisi juga perlu rasa empati, dan rasional, bukan cuma penuh muatan emosional.

Beberapa puisi Fadli Zon yang dituliskannya beberapa bulan terakhir ini, hampir rerata berisi cemooh terhadap penguasa sebagai lawan politiknya. Begitu juga puisinya 'Doa Yang Ditukar' yang menjadi petaka bagi dirinya. 

Puisi yang sarat kebencian tersebut, ditulis penuh emosional, sehingga menghilangkan rasionalitasnya sebagai anggota Dewan.

Puisi tersebut terlihat sangat mudah dituliskannya, sehingga tidak lagi menimbang siapa yang akan kena serang. Maksudnya memang ingin menyerang penguasa, yang dianggapnya sebagai kelompok yang bisa sesuka hati bisa mengubah sebuah doa. 

Padahal, sebuah doa itu tidak akan berubah substansinya, akan sampai kepada penguasa langit, seperti apa yang ada dihati pendoanya.

Tidak perlu dipersoalkan untuk siapa doa tersebut disampaikan, tidak perlu juga memaki penuh kebencian hanya karena doa yang ditukar, karena doa tetap tersampaikan sesuai dengan niat, bukan apa yang terucap.

Tanpa Fadli Zon sadari, apa yang disampaikannya lewat puisi tersebut, sudah menciderai rasa hormat terhadap seorang Ulama yang dihormati. Fadli boleh saja berargumentasi tidak untuk menghina Mbah Moen, tapi secara substansial, apa yang dituliskannya menyiratkan penghinaan itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun