Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) yang digadang-gadang pemerintah sebagai solusi atas kekacauan di masa lalu, justru kembali menghadirkan segudang persoalan. Seleksi murid baru ini pun kian tampak sebagai benang kusut yang sulit diurai.Â
Hingga 25 Juni 2025, SMAN 70 Jakarta saja menerima 1.461 aduan dari masyarakat, sebagaimana diberitakan Garuda TV. Temuan sementara dari Ombudsman RI, sebagaimana dikutip Tempo, menunjukkan maraknya praktik pungutan liar yang membebani calon peserta didik dan orang tua, termasuk 109 laporan di Aceh.Â
Selain itu, di Jawa Barat, masalah yang muncul tidak kalah serius, dari mulai kendala server saat pendaftaran hingga dugaan praktik jual beli kursi. Ombudsman mencium dugaan praktik jual beli kursi pendidikan ini mencapai Rp. 5 juta-8 juta rupiah. Itu semua adalah sebagian kecil dari banyaknya keluhan yang mengemuka seiring berlangsungnya proses seleksi SPMB tahap kedua.Â
Kekisruhan SPMB tidak bisa hanya dilihat sebagai kelalaian teknis atau kesalahan individu. Masalahnya bersifat sistemik. Bahkan jauh sebelum SPMB dibuka, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mewanti-wanti potensi penyimpangan yang berulang dalam sistem PPDB.Â
Padahal banyak pihak berharap pergantian nomenklatur dari PPDB ke SPMB akan hadir reformasi pendidikan lebih adil. Tapi celah kecurangan demi kecurangan tetap sulit terbendung.Â
Ombudsman mencatat sepanjang 2020 hingga 2024, mendapat 1172 aduan publik. 594 jalur zonasi, 366 jalur prestasi, 148 jalur afirmasi, 64 jalur perpindahan tugas orang tua.Â
Lebih memprihatinkan, laporan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) tahun 2024 menemukan modus baru, yakni jalur preman. Sebanyak 162 laporan masuk terkait intimidasi, percaloan, dan jual beli kursi sekolah. Praktik-praktik ini jelas mencederai semangat pemerataan akses pendidikan yang adil bagi semua anak bangsa.Â
Perlu diingat, polemik SPMB hanyalah puncak gunung es dari permasalahan mendasar yang membayangi sektor pendidikan. Problem sistemik imbas dari ketimpangan distribusi sekolah di daerah terpencil, minimnya fasilitas pendidikan, rendahnya kualitas guru, serta tidak meratanya intervensi negara dalam mendukung lembaga pendidikan non-negeri. Itulah akar masalah sesungguhnya.Â
Keterbelakangan sekolah swasta yang membuat paradigma "negeri sentris" tertanam kuat pada masyarakat. Pemerintah justru sengaja menciptakan dikotomi seolah sekolah negeri lebih unggul karena gratis, fasilitasnya lebih baik, dan distigma sebagai "pilihan utama".
Padahal, UUD 1945 Pasal 31 dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) menegaskan bahwa negara bertanggung jawab menjamin hak pendidikan setiap warga negara, tanpa membedakan penyelenggaranya. Sekolah swasta selama ini menjadi mitra strategis negara dalam distribusi layanan pendidikan, terutama di daerah padat, terpencil, atau pinggiran yang tidak terjangkau sekolah negeri.