Ruang lingkup aspek epistemologis ini, kata dia, terdapat pada bagaimana santri paham tentang arti kata rakyat, paham tentang kebudayaan rakyat, agama rakyat, lalu jalan pikiran rakyat, cara hidup rakyat, semangat dan cita-cita rakyat, suka duka rakyat, nasib rakyat serta seluruh seluk beluk liku-liku hidup rakyat.
Sedangkan aspek praksis, santri dan kiai sangat paham betul bagaimana arti hidup dalam penjajahan. Artinya, pada level praksis inilah, santri sangat menolak segala bentuk penindasan, kekerasan, penghisapan dan penjajahan bagi siapa saja yang merampas hak hidup bangsa Indonesia.Â
Dari pedesaan mereka berasal, dari pesantren mereka dididik dan digembleng oleh gurunya yang disebut kiai. Dari wawasan pengetahuannya, hingga mental populisnya.Â
Menurut Soetomo, sebagaimana yang ditulis oleh Kenji Tsuchiya dalam buku Demokrasi dan Kepemimpinan: Kebangkitan Gerakan Taman Siswa, pesantren adalah tempat  di mana jiwa siapa saja yang egoistik dapat bermetamorfosis menjadi jiwa yang siap berkorban untuk kepentingan rakyat.
Meski sebagian orang masih tabu bicara pesantren, melihat pesantren hanya dalam fisiknya saja, berkutat pada soal jorok dan kurang mengindahkan kesehatan dan kebersihan, meminjam istilah Kiai Ahmad Baso, penggambaran yang seperti demikian adalah tipikal konstruk abad 20, namun soal idealisme pesantren yang anti kolonial janganlah diabaikan. Â
Banjar, 22 Oktober 2020