Mohon tunggu...
Aji Aribowo
Aji Aribowo Mohon Tunggu... Penulis - Putra Jawa Kelahiran Sumatera (Pujakesuma) | Law, Science, Sport, and Social Enthusiast.

Penyangkalan: Segala tulisan yang saya tulis tidak terikat dan tidak terkait dengan lembaga/institusi tempat saya mencari nafkah. Demikian, salam kecup jauh.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Masyarakat Terlalu Jauh Menghakimi Setnov

21 November 2017   20:24 Diperbarui: 21 November 2017   21:31 1003
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: http://assets.kompas.com

Media massa atau pers seakan tidak ada habisnya membahas Setnov, tersangka kasus korupsi E-KTP yang diduga merugikan negara sebesar 2,3 Trilliun rupiah. Kiprahnya sebagai ketua DPR RI terasa tidak ada bagus-bagusnya sama sekali semenjak mencuatnya kasus ini. Dilansir dari CNNIndonesia.com, tak sedikit koleganya di DPR yang kebingungan ketika ditanya mengenai prestasi Setnov. Dadang Rusdiana, Sekretaris Fraksi Hanura mengacungi jempol Novanto untuk urusan lobi. Menurut Dadang, Novanto memang terlahir sebagai pelobi ulung, terutama ketika berhadapan dengan kalangan eksekutif. Sepertinya satu-satunya prestasi yang diulas oleh media massa adalah beliau pernah meraih gelar pria tampan Surabaya tahun 1975.

Setiap kali saya buka portal berita isinya selalu tentang kasus megakorupsi e-ktp yang disangkakan kepada 'yang terhormat' ketua DPR RI. Jujur saja saya merasa cukup jenuh dan merasa muak kasus ini di blow up sedemikian rupa seakan-akan tidak ada berita lain yang lebih penting, seperti rencana pemerintah untuk melakukan Holding BUMN yang terkubur berita tentang setnov. Banyaknya berita tentang setnov memaksa saya untuk membaca tiap judul berita yang tersaji di layar handphone saya, karena kebetulan saya orangnya tidak mau ketinggalan info terkini. Setelah saya baca satu persatu, saya merasa ada peran besar dibalik media massa yang menggiring opini masyarakat kalau Setnov benar-benar merugikan negara sebesar 2,3 Trilliun rupiah.

Nama Setnov bermula dari 'nyanyian' terdakwa kasus korupsi wisma atlet (Hambalang) yang juga sekaligus mantan bendahara umum partai demokrat, Muhammad Nazaruddin. Sejak saat itulah KPK kemudian menelusuri aliran dana dalam proyek pengadaan E-KTP yang menurut KPK, setnov memiliki peran yang cukup strategis dalam mengatur rencana busuk aliran dana kepada para koruptor proyek tersebut.

Kasus ini menggelitik saya untuk membuat analisa hukum sederhana. Lalu bagaimana analisa hukum saya terkait kasus ini? Dalam ilmu hukum dikenal suatu asas, yaitu asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) yang dimana asas tersebut digunakan dalam ilmu hukum pidana yang menyatakan bahwa seseorang tidak dapat dikatakan bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan seseorang tersebut bersalah. Asas tersebut terkandung dalam Undang-undang nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, tepatnya pada Pasal 8 ayat (1), yang berbunyi :

"Setiap orang yang dicurigai, ditangkap, ditahan, dituntut, atau muncul di depan pengadilan harus dianggap tidak bersalah sebelum putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap."

Senada dengan UU Kekuasaan Kehakiman, UU Pers nomor 40 tahun 1999 sudah jelas membatasi agar media massa atau pers tetap bersifat objektif dan tidak menggiring opini masyarakat yang membentuk framing bahwa seseorang tersangka menjadi bersalah bahkan sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan seseorang bersalah, pasal 5 ayat (1):

"Pers nasional berkewajiban mempublikasikan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat sertaasas praduga tidak bersalah"

Sebagaimana kita ketahui bersama, saat ini status setnov masih tersangka. Belum menjadi terdakwa. Mari kita sejenak menengok pada UU Nomor 17 tahun 2014 tentang MD3 (MPR, DPD, DPR, DPRD) telah mengatur sebab-sebab seorang pimpinan DPR RI dapat dicopot dari jabatannya, tepatnya pada pasal 87 ayat (2) huruf c:

"dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih"

Status tersangka yang disandang setnov tidak akan berdampak pada kinerjanya sebagai ketua DPR RI kecuali ditentukan lain melalui sidang etik oleh Mahkamah Kehormatan Dewan.

Menurut saya media massa atau pers seakan lupa batasan dan koridornya dalam peliputan kasus ini. Sehingga seakan-akan tersangka Setnov sudah pasti bersalah dan harus dihukum seberat-beratnya. Sayangnya, bukan begitu cara kerja hukum kita. Tindakan yang benar saat ini adalah kita mesti mengawal jalannya kasus ini dan mempercayakan semuanya kepada Tuhan dan KPK, agar kasus megakorupsi E-KTP dapat segera terselesaikan.

Mencoba untuk berpikir objektif disaat KTP saya yang juga kualitasnya jelek (printnya buram dan foto saya mulai hilang) cukup susah juga. Namun, sebagai masyarakat yang cerdas kita juga harus melek hukum agar bisa mengambil nilai-nilai kebenaran dibalik derasnya arus informasi. Saya cukup yakin toh kasus ini tidak akan jadi seheboh ini kalau Setnov mau menunjukkan paling tidak sedikit itikad baik untuk mau diperiksa dan mengikuti jalannya prosedur pemeriksaan oleh KPK. Saya harap KPK dapat segera menuntaskan kasus ini karena masih banyak kegaduhan lain di negeri ini yang belum terselesaikan.

Salam,

Malang, 21/11/2017

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun