Persepsi kritik terhadap pejabat haruslah punya batasan. Kalau dia seorang pejabat publik, kritiklah kinerja dan kebijakannya, bukanlah pribadinya, apalagi keluarganya.
Yang jelas, kritik yang disampaikan haruslah konstruktif, dan solutif. Bukan cuma menyalahkan tanpa memberikan masukan dan jalan keluarnya dari pernasalahan yang diperbincangkan.
Beda lho kritik dengan sekadar nyinyir, kalau nyinyir itu seperti orang ngegerutu, cuma melampiaskan kekesalan. Kalau sudah begitu, maka tidak akan menperbaiki keadaan, yang ada malah cuma menimbulkan kekisruhan.
Itu sama halnya dengan perbuatan yang mubazir, capek ngoceh, tapi tidak ada hasilnya. Tapi tidak bisa dipungkiri juga sih, ada banyak orang yang memang hobby sekadar nyinyir.
Yang seperti ini kritik yang disampaikan biasanya berbalut kebencian. Kritik dengan latar belakang kebencian, tidak akan menemukan feedback-nya, yang ada malah tambah sakit hati.
Menyampaikan kritik itu haruslah menguasai permasalahannya, supaya tahu apa yang harus diperbaiki. Sehingga yang dikritik pun bisa berbesar hati menerimanya.
Beberapa hari terakhir, Presiden Jokowi menghimbau masyarakat, agar lebih kritis terhadap pemerintahan. Himbauan Presiden ini malah ditanggapi sebagai guyonan, karena selama ini kritik yang disampaikan masyarakat, tidak ada feedback-nya.
Seperti dilansir Kompas.com, Presiden Joko Widodo meminta masyarakat lebih aktif dalam menyampaikan kritik dan masukan terhadap kerja-kerja pemerintah.
Di saat bersamaan, ia juga meminta penyelenggara layanan publik terus meningkatkan kinerja.
Hal ini Jokowi sampaikan dalam acara Peluncuran Laporan Tahunan Ombudsman RI Tahun 2020, Senin (8/2/2021).
Ada juga anggapan miring, bahwa selama ini yang menyampaikan kritik malah dipenjara. Saya tidak terlalu setuju dengan anggapan ini, karena beberapa orang yang dipernjara itu, lebih tepat dikatakan bukanlan mengkritik, tapi lebih kepada mengumbar kebencian.