Mohon tunggu...
Aji NajiullahThaib
Aji NajiullahThaib Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja Seni

Hanya seorang kakek yang hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tidak Satu "Frekuensi", Menteri pun Siap Diganti

2 Juli 2020   18:37 Diperbarui: 2 Juli 2020   19:10 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Antara Presiden dan Menteri Kabinet, memang harus dalam satu frekuensi, supaya Presiden Jokowi tidak kerja sendiri. Jangan sampai ibarat kata, Presiden Jokowi sudah menggunakan frekuens FM, sementara menterinya masih di jalur AM, jadi ya gak akan ketemu.

Kita bisa melihat Kementerian mana saja yang sudah satu frekuensi, dengan Presiden Jokowi. Menteri yang sudah satu frekuensi dengan Presiden Jokowi, tidak akan ngacir sendiri, karena dia tidak lagi perlu petunjuk bapak Presiden.

Lihat saja Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, dia terus bekerja sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya, begitu juga dengan Menteri BUMN dan PUPR, Erick Thohir dan Basuki Hadimuljono. Masing-masing terus bekerja, tanpa merasa takut salah.

Arahan sejak awal terpilih sebagai menteri sudah cukup jelas, kuncinya cuma satu, tidak ada visi dan misi menteri, yang ada cuma visi dan misi Presiden. Tapi pada kenyataannya, banyak menteri dengan gagah berani menjalankan visi dan misinya sendiri.

Apa lagi terkait penanganan covid-19, ada Menteri yang seenaknya mengeluarkan kebijakan sendiri, dan kebijakan itu berbenturan dengan kebijakan yang lainnya. Inilah yang dimaksud Presiden Jokowi, tidak memiliki sense of crisis. Sudah salah tapi tidak bisa kasih solusi yang benar.

Inilah yang saya maksudkan tidak satu frekuensi, yang seperti ini memang harus diganti, tidak perlu banyak pertimbangan untuk menggantinya. Kalau dalam prinsip kerja dalam satu tim, yang seperti itu tidak bisa bekerja dalam satu tim.

Kalau diibaratkan dalam sebuah Orkestra, menteri yang seperti itu dia punya nada sendiri, sehingga tidak sesuai dengan arahan dirigen atau conductor-nya. Padahal gaya komunikasi Presiden Jokowi itu sangat lugas dan jelas, tidak menggunakan kata bersayap, sehingga mudah difahami.

Bayangkan saja, program kerja masing-masing kementerian sudah ada, begitu juga dengan anggarannya. Yang menjadi kendalanya hanyalah takut mengambil tindakan, dan takut menanggung resiko, sehingga tidak ada eksekusinya.

Kalau Presiden pun harus mengarahkan dulu apa yang harus dilakukan setiap Menteri, ya terlalu repot jadi Presiden, sementara para menterinya cuma menunggu untuk melalukan eksekusi. Rakyatnya sudah mati duluan, baru ada tindakan.

Kok susah ya masuk dijalur yang sama dengan Presiden, dalam hal pelaksanaan dan eksekusi? Kalau Presiden sudah dijalur FM, menterinya jangan bertahan dijalur AM, supaya selalu satu frekuensi dengan Presiden.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun