Mohon tunggu...
Aji NajiullahThaib
Aji NajiullahThaib Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja Seni

Hanya seorang kakek yang hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pengapnya Jakarta dalam Retorika Banjir

25 Februari 2020   17:37 Diperbarui: 25 Februari 2020   18:36 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jakarta sangat melekat 'Macet' dan 'Banjir', kalau tidak macet dan banjir, bukan Jakarta namanya. Mungkin persoalan macetnya, sudah tidak lagi menjadi pembicaraan publik, bukan karena sudah teratasi, tapi karena memang sudah muak untuk membicarakannya.

Sudah berbagai solusi dicoba, untuk mengurangi kemacetan, mulai dari membangun jalan layang, jalan tol dalam kota, bahkan jalan underpass, juga lalu lintas diatur dengan Three in One, dan Ganjil-Genap, namun tetap saja Jakarta macet, karena memang belum ada kebijakan yang membatasi kendaraan.

Masyarakat dibebaskan membeli kendaraan, seperti membeli kacang goreng, semua prosedur dimudahkan, demi target penjualan. Sementara volume kendaraan, sudah tidak sebanding dengan ruas jalan yang tersedia.

Begitu juga soal banjir, program mengatasi banjir di Jakarta, tidak pernah tuntas dilakukan secara berkesinambungan. Ganti Gubernur, ganti pula gaya pemerintahannya, dan kebijakan dalam mengatasi banjir. Padahal, mengatasi banjir haruslah secara berkesinambungan.

Di bawah kepemimpinan Jokowi, meneruskan kebijakan Fauzi Bowo, dalam mengatasi banjir, lebih dimaksimalkan dengan melakukan normalisasi kali Ciliwung. Sedikit banyak ada perubahan dalam hal penanganan banjir, meskipun terkendala berbagai kebijakan pemerintah pusat.

Adanya kendala tersebut, sehingga muncullah pernyataan, kalau jadi presiden, akan lebih mudah mengatasi banjir. Begitu Jokowi jadi presiden, maka Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) jadi Gubernur DKI Jakarta. Program penanganan banjir yang pernah dilakukan Jokowi, saat menjadi Gubernur DKI Jakarta, diteruskan oleh Ahok.

Sedikit banyak, program penanganan banjir semakin menampakkan hasilnya. Program ini kalau terus ditingkatkan secara berkesinambungan, tentu hasilnya akan lebih baik lagi. Pada kenyataannya, begitu ganti Gubernur, kebijakan tersebut tidak dilanjutkan. Anies Baswedan punya cara sendiri dalam mengatasi banjir Jakarta.

Secara retorika, konsep yang diajukan Anies dalam mengatasi banjir Jakarta, sangat indah. Menurut Anies, air hujan itu tidak dialirkan ke laut, tapi diresapkan ke tanah, itu sunatullah. Secara retorika, sepintas sangat benar dan bagus, tapi bagusnya sebuah konsep, akan kelihatan kalau dilaksanakan.

Anehnya, untuk mengatasi banjir yang terjadi, Anies sangat tergantung pada pasang surutnya air laut, padahal secara retorika dikatakan air hujan itu tidak dialirkan kelaut. Ketika masyarakat yang terdampak banjir, minta dibukakan pintu air, Anies menunggu air laut surut dulu.

Lah, kalau memang dialirkan kelaut bukan sunatullah, ya harus disiapkan infrastrukturnya untuk sumur resapan air hujan yang sesuai dengan sunatullah. Katanya sudah disiapkan drainase dan sedang dibangun, namun tempatnya masih dirahasiakan. Lagi-lagi ini sekadar retorika yang belum ada wujudnya.

Ini sama muluknya dengan retorika Naturalisasi, hanya manis terdengar secara retorika, namun tidak kunjung terealisasi. Padahal konsep naturalisasi itu sangat bagus kalau benar-benar bisa direalisasikan, namun ternyata cuma sampai pada retorika, tidak pernah nampak wujudnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun