Mohon tunggu...
Aji NajiullahThaib
Aji NajiullahThaib Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja Seni

Hanya seorang kakek yang hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Skandal Garuda dan Fenomena Aksi "Vigilantisme"

14 Desember 2019   01:09 Diperbarui: 14 Desember 2019   11:29 696
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petugas Bea Cukai menyiapkan barang bukti pada konferensi pers terkait penyelundupan motor Harlery Davidson dan sepeda Brompton menggunakan pesawat baru milik Garuda Indonesia di Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis (5/12/2019). Antara Foto/Hafidz Mubarak A.

Viralnya skandal Garuda yang diawali oleh terbukanya kasus penyelundupan Harley Davidson dan Sepeda Brompton, tidak terlepas dari maraknya fenomena aksi vigilantisme digital atau digilantisme yang terjadi di media sosial.

Asisten profesor Utrecht University School of Governance, Rianne Dekker, mengibaratkan digilantisme ini sebagai aksi superhero. Di mana munculnya seorang ingin terlihat mempunyai peran, bisa juga dikatakan pahlawan super ingin menyelamatkan dunia, tapi tidak bisa mengandalkan polisi untuk menangkap penjahat. Dia pun mencari keadilannya sendiri. Sumber

Tidak ada yang salah kalau pun pada akhirnya skandal Garuda tersebut dimanfaatkan warganet, untuk membuka tabir kasus lain yang terkait dengan skandal tersebut atau demi kepentingan popularitas, selama apa yang diungkapkan mengandung kebenaran.

Seperti apa yang sudah dilakukan oleh akun @digeeembok, di mana dengan terbukanya kasus Harley Davidson, maka rentetan kasus lainnya pun dibeberkan olehnya. Sebagian besar apa yang dibeberkannya dibenarkan oleh awak kabin Garuda. Sumber

Secara positif apa yang dilakukan oleh akun @digeeembok tersebut adalah upaya investigasi yang dilakukan oleh jurnalis warga, untuk mengungkapkan sebuah kejahatan yang tidak tercium oleh aparat kepolisian. Tapi memang di sisi lain tidak semua yang dibeberkannya mengandung kebenaran.

Di berbagai belahan dunia aksi semacam ini sedang meningkat. Sebabnya, internet menyediakan banyak sekali ilmu pengetahuan, termasuk forensik digital atau crowdsourcing intelligence. Inilah yang pada akhirnya memfasilitasi fenomena aksi digilantisme.

Aksi seperti ini selama memberikan kontribusi yang positif pada penegakan hukum, sebaiknya tidak perlu diredam. Namun ketika aksi ini sudah menimbulkan kegaduhan, karena dijadikan alat untuk menebarkan fitnah, barulah oknum yang melakukan tindakan tersebut ditindak secara hukum.

Memang ada yang beranggapan, aksi digilantisme ini seperti pisau bermata dua. Satu pihak menganggap untuk menegakkan keadilan, namun di pihak yang lain justru menimbulkan ketidakadilan bagi orang lain. Itu sih hal yang biasa, selalu ada sisi positif dan negatif.

Seperti menurut pengamatan lembaga studi dan pemantauan media, Remotivi, upaya mencari dan menegakkan keadilan di media sosial bak belati bermata dua: “Keadilan bagi satu pihak bisa merupakan ketidakadilan bagi orang lain.“ Sumber

Fenomena aksi seperti ini sebetulnya tidak hanya terjadi di era internet dewasa ini saja. Bahkan mungkin istilah digilantisme itu sendiri baru muncul di era internet dewasa ini, tapi pada dasarnya, aksi seperti itu sudah ada sebelumnya, hanya saja dalam format yang berbeda.

Sering kita dengar ada aksi seperti itu dilakukan oleh penduduk sipil, yang melakukan investigasi untuk membongkar sebuah kejahatan yang tidak tersentuh oleh aparat keamanan, sehingga dia merasa perlu melakukan tindakan tersebut agar pada akhirnya diketahui oleh pihak yang berwajib.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun