Mohon tunggu...
Ajeng Putri
Ajeng Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

-

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ketimpangan Hukum di Indonesia, Neraka bagi Kelas Bawah

17 April 2021   17:30 Diperbarui: 17 April 2021   17:33 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Ketimpangan dan kecacatan dalam proses penegakan hukum di Negara Indonesia dipertontonkan secara vulgar, seolah-olah bukanlah sebuah aib yang harus ditutupi atau bahkan dihilangkan. Ketidakadilan yang dirasakan oleh para masyarakat pun seperti sebuah hal yang sangat biasa bagi mereka. Miris, karena hal tersebut sangatlah kontradiktif dengan bagaimana sebuah hukum seharusnya terlaksana, yaitu berdiri dengan tegak guna mewujudkan suatu keadilan bagi tiap tiap individu yang berlindung di bawah payung hukum.

Ketika masyarakat merasakan suatu perlakuan tidak adil dari hukum yang seharusnya menjadi pelindung mereka, maka yang muncul dari diri mereka adalah kekecewaan dan ketidakpercayaan terhadap sistem hukum yang berlaku. Kekecewaan mereka tentu tidak muncul karena alasan yang jelas atau hanya bualan semata mengenai hukum yang kacau balau. Ketika dua pria melakukan tindakan pencurian sebuah semangka dituntut selama 2 bulan 10 hari penjara, tidak sebanding dengan tuntutan para koruptor yang pada tahun 2020 mengakibatkan total kerugian bagi negara hingga 39,2 triliun, namun rata-rata hanya mendapatkan tuntutan 2,5 tahun penjara.

Bagaimana seorang buruh tani bernama Aspuri terancam hukuman 5 tahun penjara hanya karena mengambil kain lusuh di pagar tetangganya, bagaimana seorang kakek ditahan secara langsung oleh aparat karena mencuri satu tandon pisang atas permintaan sekelompok anak, bagaimana seorang wanita berusia lanjut dituntut 5 bulan penjara akibat ketidaktahuannya dalam larangan menjual petasan, Ketika seorang pelajar melakukan tindakan pembunuhan guna membela diri dari begal yang menjadi ancaman berbahaya bagi dirinya, Nenek yang divonis hukuman satu bulan akibat mencuri 3 buah kakao saja. Lebih disayangkan lagi, pada tahun 2015 silam Menteri Hukum dan HAM menetapkan kebijakan dimana para koruptor diberikan kesempatan besar untuk mendapatkan remisi, padahal kejahatan yang dilakukan oleh para koruptor bukanlah kejahatan kecil yang kerugiannya tidak berdampak besar.

Puncak dari peristiwa susahnya menegakkan keadilan dalam proses hukum adalah kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan, begitu lamanya waktu yang dimakan dalam pengusutan pelaku penyiraman air keras dan penuh dengan ketidakjelasan dalam proses hukumnya, pun hingga akhir ketika terdakwa sudah ditetapkan, proses pengusutannya masih sangat terasa janggal bagi masyarakat. Terdakwa kasus penyiraman air keras terhadap novel baswedan yang menyebabkan korban mengalami cacat permanen merupakan seorang anggota aktif kepolisian, terdakwa mendapatkan vonis hukuman kurungan kurang dari satu tahun penjara, sebuah tuntutan yang dinilai sangat ringan dan tidak sebanding dengan kasus kejahatan yang dilakukan. Fenomena-fenomena ketimpangan tersebut lah yang menunjukkan bagaimana hukum Indonesia masih begitu lemah dan banyak kecacatan, dimana masyarakat merupakan saksi dari bagaimana kasus-kasus tersebut menunjukkan betapa tidak adilnya proses hukum di negara kita.

Kasus-kasus yang terjadi tersebut secara tersirat menunjukkan bagaimana hukum bukanlah lagi pelindung bagi semua kalangan masyarakat, karena bagi orang-orang miskin atau masyarakat kelas bawah hukum merupakan sebuah senjata mematikan yang bisa menyerang kapan saja sedangkan bagi orang-orang kaya yang memiliki kekuasaan, hukum merupakan suatu barang yang dapat dibeli dengan harga murah. Kiasan "hukum indonesia tumpul ke atas, lancip ke bawah" merupakan sebuah sindiran keras bagi para penegak hukum negara kita. Sebuah diskriminatif dalam proses penegakan hukum harusnya tidaklah terjadi.

Seringkali ujaran-ujaran bermakna seperti, "kalau tidak punya uang, kasusnya tidak akan menang di pengadilan" dilontarkan oleh masyarakat menunjukkan maraknya tindakan jual beli hukum. Hal tersebut berimbas terhadap semakin menghilangnya nilai keberharagaan hukum itu sendiri sebagai suatu hal yang tidak dapat diperjualbelikan, hal ini semestinya tidak dinormalisasi dan dianggap sebagai sesuatu yang remeh. Berbagai kecacatan dalam proses penegakan hukum dengan banyaknya ketidakadilan dalam proses penegakan hukum yang seolah-olah menjadi tontonan umum bagi masyarakat sayangnya tidak direspon dengan serius.

Para penegak hukum seharusnya merasa malu atas ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum di negara Indonesia, padahal negara kita merupakan negara hukum. Stigma buruk masyarakat atas para penegak hukum pun merupakan tamparan keras bagi yang bersangkutan. Diharapkan kedepannya, para penegak hukum untuk semakin memperbaiki kualitas hukum di Indonesia, mengevaluasi hal-hal yang harus diperbaiki dari kekurangan-kekurangan yang terdapat pada sistem hukum Indonesia, sehingga dapat kembali meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap hukum di negara kita.

 

Daftar Pustaka

 

Hukum. 2020. Pada KBBI Daring. Diakses pada 12 April 2021, dari kbbi.web.id/kamus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun