Mohon tunggu...
Ajeng Kania
Ajeng Kania Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Guru di SD yang sedang asyik menemani bayi mungilnya

Selanjutnya

Tutup

Nature

Ceria Berkebun di Tanjungsari

4 Oktober 2010   11:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:44 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

[caption id="attachment_277894" align="alignright" width="194" caption="Ceria sehabis panen di kebun"][/caption] Seperti biasa tiap hari Sabtu siang dan di hari Minggu, saya sekeluarga berlibur ke Tanjungsari, Sumedang.  Sekaligus menyambangi orang tua, juga melepas penat dengan berkebun. Kebun itu tidak luas, berasal dari kaplingan tanah kebun seluas 20 tumbak (280 m persegi) yang belum kami bangun ditanami jagung manis, kacang merah, kecipir, singkong dan kacang tanah (suuk).  Di awal musim kemarau, saat hujan mulai reda, biasa ditanam hui (ubi jalar)  Cilembu. Jagung manis amat disukai, karena mengandung kadar gula yang relatif tinggi, cocok  dibakar atau direbus. Daerah Tanjungsari pun dikenal sebagai sentra hui Cilembu yang populer karena rasa manisnya yang "kareueut".  Hui Cilembu bukan saja komoditas "oleh-oleh" asli kawasan Tanjungsari, tapi dijual di lokasi wisata seperti Puncak, Lembang atau Ciwidey. Manfaat lain berkebun ini, bagi anak-anak dapat menikmati masa kanak-kanaknya di alam terbuka dengan mencari jangkrik, belalang atau capung.  Mereka juga sesekali turut membantu menyiangi rumput, memberi pupuk dan memanen jagung.  Selain mengajarkan tentang lingkungan alam sekitar, kehadiran anak-anak menambah semangat kami bekerja ... Bagi ayah anak-anak, berkebun ini dijadikan media olahraga. Dengan sesekali mencangkul, menyabit dan memupuk di alam terbuka, bermandi peluh dan terik matahari, ternyata menjadi refreshing menyenangkan. Kadangkala ada kerabat sengaja ikut botram. Botram di kebun berbeda dengan di rumah atau kafe. Selain murah meriah, botram pun terasa nikmat, apalagi setelah bekerja di kebun sebelumnya. Dari hasil panen, tak pernah terbersit untuk dijual. Selain kualitasnya alakadarnya, kalau kami hitung untung-rugi wah bakalan rugi bila dihitung secara matematika.  Soalnya, ada beberapa kegiatan yang mengandalkan buruh tani. Belum tenaga kami tidak dihitung. Bagaimana agar tetap untung? [caption id="attachment_278511" align="alignleft" width="144" caption="  berkebun : anggap saja olahraga & refresing "][/caption] Kami bagiin sama tetangga atau saudara,bahkan nyampe Bintaro atau Tasik, saat ada kerabat yang mo berkunjung ke sana, kami titipkan.  Kami punya kepuasaan dan kebanggaan telah "bisa memberi" alakadarnya dari hasil kebun kami. Dengan demikian, kami selalu merasa bersyukur dan bahagia.  Tentu saja untung dan barokah serta puass. (**)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun