Mohon tunggu...
Ajeng DwiayuSaputri
Ajeng DwiayuSaputri Mohon Tunggu... Lainnya - SMAN 1 PADALARANG

XII MIPA 3

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Belajar (di) Rumah "Solusi atau Pelarian?"

12 Maret 2021   07:07 Diperbarui: 12 Maret 2021   07:34 520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Coronavirus Disease 2019 atau yang sering disebut COVID-19 saat ini telah menjadi perbincangan di seluruh penjuru dunia. Berawal dari munculnya sebuah virus di kota bernama Wuhan, China yang saat ini sudah menginfeksi lebih dari 20 juta umat manusia di dunia. Sebuah kejadian luar biasa yang tidak terbayangkan sebelumnya akan menjadi separah ini. Fenomena yang dapat mematikan banyak sektor di suatu negara, bukan perang senjata, melainkan perang tehadap sebuah mikroorganisme, sehingga memaksa manusia untuk merubah gaya hidup menjadi lebih sehat. Selama pandemi COVID-19 ini pula, masyarakat terpaksa untuk tetap #DiRumahAja demi memutus rantai penyebaran virus. 

Menteri pendidikan pun menggapi cepat saat adanya covid 19 di Indonesia karena dinilai potensial meningkatkan penyebaran. Sekolah-sekolah dengan basis jumlah murid yang cukup banyak sangat berpengaruh terhadap proses penyebaran Covid-19. Selain sekolah-sekolah, universitas-universitas pun ditutup untuk sementara. Perkuliahan dialihkan ke rumah. Semuanya pun berlangsung dari rumah. Proses belajar-mengajar akhirnya tersendat mengingat metode distribusi pengetahuan dirasa kurang optimal dan memadai. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pun menerapkan kebijakan sistem belajar dari rumah.

Belajar dari rumah membuat slogan merdeka belajar semakin kelihatan. Apa maksud merdeka dalam konteks belajar dari rumah? Dari fenomena dan kesan umum yang terlihat, proses belajar justru di luar kendali. Belajar dari rumah untuk konteks pelajar SD-SMA adalah liburan. Kita tidak bisa menyangkal bahwa efektivitas kegiatan belajar dengan pantuan jarak jauh oleh para pendidik dan bimbingan langsung dari orangtua hanya berlangsung di pekan awal. Berada di rumah selama pandemi diharapkan tetap produkif dalam belajar. Akan tetapi, kadang-kadang orang justru merasa bebas-merdeka untuk belajar. Dalam hal ini, ia menerapkan prinsip "semau gue." Belajar dari rumah adalah sebuah tameng yang dipakai untuk menahan tuduhan bahwa selama Covid-19 sistem pendidikan vakum.

Selama pandemi, pendidikan terasa adanya leap terhitung sejak awal akhir Februari 2020. Pasca instruksi pemerintah untuk belajar dari rumah, bekerja dari rumah, ataupun beribadah dari rumah dan lain sebagainya membuat situasi di Indonesia menjadi beda. Hal ini juga berdampak dalam proses pendidikan. Bagaimana tidak, hampir 100% aktivitas kerja dan sekolah dilakukan dari (di) rumah. Dengan fenomena ini teknologi menjadi penguasa yang membius mata masyarakat. Serba-serbi kehidupan diwarnai oleh dunia online. Absensi, materi pembelajaran, tugas, kuis, ulangan harian, dan berbagai ujian dilakukan dari (di) rumah via berragam aplikasi yang ada dalam jasa daring. Dengan adanya sistem ini seolah semua orang telah pandai dengan sistem daring. Akan tetapi, fenomena di lapangan mengafirmasi adanya kendala yang tak terelakkan.

Hal ini disebabkan oleh 'dosa' masa lalu proses pendidikan Indonesia, masih menjadi momok mematikan bagi proses pembelajaran daring. Kita perlu menyadari bahwa tidak semua mahasiswa berasal dari keluarga kelas menengah ke atas. Tidak semua mahasiswa dan pengajar di Indonesia menikmati proses 'milenial' ini. Tidak semua mereka memiliki gawai dan leptop. Ada yang punya tetapi susah untuk mendapatkan akses internet. Bahkan di daerah tertentu tidak ditemukan jaringan internet. Ada yang tidak memiliki dua-duanya.

Selain itu, kapabilitas dan kreativitas para dosen adalah salah satu tuntutan terbesar dalam sistem perkuliahan daring atau jarak jauh di satu sisi.

Di lain sisi, ketekunan,keseriusan mahasiswa menjadi tuntutan lain. Akan tetapi keduanya tidak terlepas dari jaringan atau koneksi. Hal ini tentunya menjadi salah satu faktor penentu dalam pelaksaan perkuliahan online. Sistem ini sebenarnya sebuah peralihan metode face to face (jarak dekat) ke metode screen to screen (jarak jauh). Dasarnya adalah ketersediaan semua informasi yang relevan secara real time melalui jaringan dengan menghubungkan orang, benda dan sistem dioptimalkan, terorganisir secara mandiri dan penciptaan nilai lintas jaringan yang dapat.
Hal ini nyata ketika dunia pendidikan berhadapan dengan situasi pandemi. Ada begitu banyak lembaga pendidikan yang tidak siap untuk melaksanakan sistem pembelajarannya secara online. Jika terjadi, maka itu bisa saja ikut-ikutan dan terpaksa.
Rasanya pendidikan gaya lama masih sangat dominan.

Semoga wabah Covid-19 ini tidak hanya membawa kepanikan di ruang publik, tetapi ini menjadi salah satu titik pacu bagi bangsa Indonesia, khususnya pemerintah dan kementerian terkait untuk berkonsentrasi penuh mengerahkan seluruh anggaran pendidikan tahun ini untuk menciptakan kurikulum virtual; proses belajar mengajar via teknologi daring, sambil menyiapkan sarana prasarana pendukung, ketersediaan jejaring internet, manajerial demokratis yang berdaya saing, sampai pada keterlibatan masyarakat secara berkelanjutan. Pemerataan kualitas dan kuantitas pendidikan di Indonesia menjadi kewajiban yang mesti diprioritaskan, sesuai amanat sila ke-5 Pancasila; keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Indonesia yang adil; sama rasa--satu rasa, proses pendidikan wajib memberi kenyamanan bagi seluruh peserta didik dan pendidik se-Indonesia Raya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun