Ia datang
seperti pagi pertama yang kutemui dengan mata belum terbuka,
terlalu hangat, terlalu indah,
hingga aku hanya bisa memeluk angin
dan lupa bersyukur atas cahayanya.
Ia adalah lelaki yang tak pernah berisik
namun membuat ruangan tenang saat ia berdiri.
Bukan dari ketampanan saja kuingat dirinya,
tapi dari sikapnya yang seolah dibentuk
oleh puisi lama dan prinsip yang tak bisa dibeli.
Ia terlalu gentleman untuk kuraih
dengan tangan remaja yang masih gemetar.
Terlalu tegap untuk kurengkuh
dengan keberanian yang belum sempat lahir.
Di antara lelaki yang sibuk menjual topeng kekuatan---
dengan suara besar tapi hati kecil,
dengan gengsi langit tapi nyali tanah---
ia berjalan pelan,
seperti puisi tua yang hanya bisa dibaca
oleh hati yang sudah belajar diam.
Ia tidak menebar pesona
seperti bunga yang liar di jalan.
Ia seperti pohon tua:
diam, teduh, tahu kapan melindungi
dan kapan membiarkan angin lewat tanpa terusik.
Dan aku,
si bocah yang masih belajar
membedakan cinta dari kagum,
hanya bisa diam di tepi hari-hari
yang perlahan menjauh bersamanya.
Lalu ia pergi,
tanpa salah, tanpa drama,
hanya menikah---
tapi bagi jiwaku yang belum sempat bicara,
itu terdengar seperti langit yang runtuh
tanpa aba-aba.
Kini aku bertanya,
di antara lelaki yang terlalu keras berkata cinta
tapi rapuh dalam luka,
yang menyebut dirinya pejuang
tapi menyerah pada tanggung jawab terkecil---
Apakah akan ada lagi
yang membawa aura sepertimu?
Yang tahu cara hadir
tanpa menguasai,
yang tahu cara memimpin
tanpa membentak?
Mungkin tidak.
Atau mungkin... jika Tuhan berbaik hati,
akan ada seseorang yang tak menirumu,
tapi membuat hatiku tenang
dengan cara yang baru.