Mohon tunggu...
Aisyah Putri
Aisyah Putri Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi UNJ

Mahasiswi UNJ

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Melihat Sisi Kehidupan di Lembah Cikoneng

12 April 2019   15:47 Diperbarui: 12 April 2019   19:53 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Travel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Para pengunjung tiba di Kampung Cikoneng pada tengah hari (29 Juni 2018). Kampung ini terletak di Desa Cikoneng, Kelurahan Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Indonesia. Cuaca yang sejuk menambah kenyamanan. Terik matahari hilang karena munculnya awan yang menandakan waktu petang.

Cikoneng adalah salah satu pengalaman yang tak terlupakan bagi mahasiswa dan dosen. Wisatawan dapat menemukan kebun teh, sekolah, masjid, dan rumah-rumah. Warung tersedia di samping SD sehingga pendaki dan wisatawan tidak merasakan kelaparan. Masjid berada di depan kebun teh. Masjid sebagai pusat pembelajaran keagamaan dari kalangan anak-anak hingga remaja saat ini.  Sekolah dasar di kampung ini bisa dikatakan sebagai pusat pendidikan dasar untuk anak-anak yang tinggal di sekitar Desa Cikoneng maupun di luar Desa Cikoneng.

Panorama Desa Cikoneng diapit oleh dua gunung yakni Gunung Kencana dan Gunung Gede Cikoneng. Gunung Kencana adalah gunung yang berlokasi di Desa Cikoneng, Kelurahan Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor. Ketinggian gunung ini sekitar 1803 mdpl. Gunung ini juga berdampingan dengan Gunung Gede Pangrango yang terkenal di lingkungan masyarakat. Kata "kencana" yang berasal dari kata "kancana" memiliki arti barang-barang berharga, emas, perabotan yang dahulunya gunung tersebut memiliki barang-barang berharga yang bersifat mistis.

Konon, gunung ini terdapat gua yang dijadikan untuk bersemedi orang-orang terdahulu. Di dalam gua tersebut ditemukan benda-benda sakti berupa keris yang berkekuatan supranatural. Adanya kepercayaan dinamisme, masyarakat Desa Cikoneng masih menganggap Gunung Kencana sebagai perantara terpenuhinya hajat. Gunung ini diyakini menjadi penghubung terkabulnya berbagai keinginan.

Kampung ini juga dikelilingi oleh kebun teh yang sangat luas. Kebun ini dimiliki oleh perusahaan swasta dan masyakat Cikoneng sebagai pekerja dari kebun teh tersebut. Oleh sebab itu, masyarakat kampung ini didominasi oleh kalangan menengah ke bawah. Penghasilan tambahan selain berkebun diperoleh dari rehabilitasi hutan, berdagang, dan beternak.

Perkebunan adalah sektor usaha yang dijadikan sebagai mata pencaharian utama dengan memetik daun teh. Pekerja lahan teh memiliki waktu tertentu untuk bekerja. Waktu yang digunakan untuk bekerja selama 5 jam mulai sejak fajar menyingsing hingga pukul 10.00. Penghasilan yang didapat dari memanen adalah Rp600 per kilo sehingga total penghasilan selama sehari hanya Rp25.000.

Keramahan warga setempat mempermudah peneliti berbincang-bincang. Peneroka meneliti kondisi sosial dan keagamaan. Tokoh agama berperan terhadap peningkatan spiritualitas keagamaan masyarakat Cikoneng, tetapi tidak memiliki pengaruh terhadap spiritualitas kehidupan duniawi. Di desa ini, tokoh agama adalah sosok yang pernah menempuh pendidikan di pesantren dan mampu membaca Alquran dengan baik serta dapat berkhotbah di masjid.

Bagi masyarakat Desa Cikoneng, kegiatan keagamaan menjadi kegiatan yang rutin dilaksanakan. Misalnya pengajian berlangsung setiap sore hari untuk anak-anak, malam minggu untuk bapak-bapak, dan hari Senin dan Kamis untuk ibu-ibu yang dilakukan secara bergantian di setiap rumah warga. Pengajian anak-anak berdampak pada sosialisasi yang terjalin dan kebermanfaatan dalam mendapatkan ilmu. Keagamaan di desa tersebut berwujud dalam membiasakan penggunaan sorban ketika sholat masih terjaga sampai sekarang.

Rebo Wekasan menjadi tradisi masyarakat Cikoneng. Rebo dalam literatur Jawa bermakna hari Rabu, sedangkan wekasan berarti pungkasan atau terakhir. Rebo Wekasan yaitu tradisi memperingati Rabu terakhir di bulan Shafar dengan tujuan untuk menolak bala dengan cara melangsungkan acara keagamaan seperti bersholawat, berdzikir kepada Allah, dan memanjatkan doa syukur atas segala keberkahan yang diterima. Bulan Shafar merupakan bulan kedua berdasarkan penanggalan kalender Hijriah.

Salah satu dari rangkaian acara ini yakni Tantang Angin. Tradisi ini sudah dikenal masyarakat Jawa sejak zaman para sesepuh adat di kawasan Jawa Barat. Kebiasaan ini sudah dilakukan setiap tahun. Dengan demikian, para pwngunjung tidak perlu khawatir jika terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan. Karena tradisi ini tidak berdampak terhadap apapun.

Sumber :

- Observasi langsung

- Mahasiswa/i KPI dan mahasiswa/i IPI. 2018. Sosiologi Agama : Kajian Interaksi Agama dan Budaya. Bekasi : Fikra Publika.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun