Tanah Menciut, Mimpi Melebar
Usulan Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) untuk mengecilkan tipe rumah subsidi dari 21/60 menjadi 18/25 sontak memantik perdebatan publik. Di atas lahan seluas 25 meter persegi, ruang hidup 18 meter persegi berarti setara dengan dua mobil kota yang diparkir rapat.
Pertanyaannya kemudian muncul: apakah rumah seperti itu layak huni? Apakah cukup sehat? Rumah yang ideal mestinya memenuhi standar kesehatan, kenyamanan, serta ruang gerak yang memadai bagi keluarga.
Standar Rumah Sederhana Sehat (RSS) sebenarnya mencakup ventilasi sebesar minimal 10% dari luas lantai, pencahayaan alami, dan akses terhadap sanitasi serta air bersih. Namun dalam praktiknya, RSS kerap diplesetkan masyarakat menjadi "Rumah Susah Selonjor" karena sempitnya ruang yang tersedia. Dengan plafon 18 meter persegi, setidaknya 1,8 meter persegi harus disediakan untuk jendela atau lubang ventilasi demi mencegah sesak dan lembap.Â
WHO menyarankan standar minimal 9 meter persegi per orang. Jika rumah mungil ini dihuni oleh tiga orang, maka setiap penghuni hanya memperoleh ruang hidup 6 meter persegi, jauh di bawah batas kelayakan.
Meski pemerintah menyebut rumah ini bisa ditebus dengan cicilan sekitar Rp600 ribu per bulan, atau setengah dari rata-rata KPR subsidi saat ini, tetap saja rumah subsidi ideal tak bisa diukur hanya dengan murahnya harga. Harus ada ukuran kemanusiaan di dalamnya: apakah rumah ini sanggup menampung mimpi dan martabat penghuninya? Apakah anak-anak bisa belajar dengan nyaman, orang tua bisa beristirahat dengan layak, dan keluarga bisa berkumpul tanpa sesak? Itulah pertanyaan dasar yang tidak bisa dijawab hanya dengan angka subsidi.
Tapak vs Vertikal, Mana yang Bermartabat?
Harga tanah nasional yang terus meningkat, rata-rata mencapai 7,3 persen per tahun, membuat rumah tapak menjadi semakin tak terjangkau, terutama di kawasan urban dan sub-urban.Â
Di sisi lain, pendapatan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) nyaris stagnan, dengan rata-rata di bawah Rp4 juta per bulan. Maka, tak heran jika pilihan untuk menekan biaya dilakukan lewat penyusutan ukuran dan lokasi pinggiran. Namun apakah itu satu-satunya solusi?
Data Kementerian PUPR menunjukkan bahwa hingga April 2025, program FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan) telah menyalurkan sekitar 105 ribu unit rumah bersubsidi. Meski demikian, backlog kepemilikan rumah nasional masih berada di angka 15 juta unit.Â