Mohon tunggu...
A Iskandar Zulkarnain
A Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... SME enthusiast, Hajj and Umra enthusiast, Finance and Banking practitioners

Iskandar seorang praktisi Keuangan dan Perbankan yang berpengalaman selama lebih dari 35 tahun. Memiliki sejumlah sertifikat profesi dan kompetensi terkait dengan Bidang Manajemen Risiko Perbankan Jenjang 7, Sertifikat Kompetensi Manajemen Risiko Utama (CRP), Sertifikat Kompetensi Investasi (CIB), Sertifikat Kompetensi International Finance Management (CIFM) dan Sertifikat Kompetensi terkait Governance, Risk Management & Compliance (GRCP) yang di keluarkan oleh OCEG USA, serta Sertifikasi Kompetensi Management Portofolio (CPM). Iskandar juga berkiprah di sejumlah organisasi kemasyarakatan ditingkat Nasional serta sebagai Ketua Umum Koperasi Syarikat Dagang Santri. Belakangan Iskandar juga dikenal sebagai sosok dibalik kembalinya Bank Muamalat ke pangkuan bumi pertiwi.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Gaji Hakim Naik 280%: Saatnya Integritas Ditegakkan Setegak Irah-irah

13 Juni 2025   21:45 Diperbarui: 18 Juni 2025   08:47 436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi hakim (Shutterstock via KOMPAS.com) 

Gaji Tinggi, Harapan Tinggi: Hakim Bukan Sekadar Profesi, Tapi Amanah Ilahi

Kebijakan Presiden yang menaikkan gaji hakim hingga 280 persen menandai era baru dalam penghargaan terhadap profesi hukum. Angka Rp 19 juta untuk hakim pemula bukan sekadar insentif material, tetapi sinyal bahwa negara menaruh kepercayaan tinggi kepada institusi peradilan.

Namun, menjadi hakim tak bisa dipandang sebatas pekerjaan bergaji tinggi. Ini bukan sekadar jabatan administratif, melainkan peran moral dan spiritual yang sangat berat.

Dalam setiap putusannya, hakim menuliskan kalimat sakral: "Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa." Kalimat ini bukan formalitas kosong, melainkan pengingat bahwa keputusan yang mereka buat akan memengaruhi hidup, nama baik, bahkan kebebasan seseorang.

Seorang hakim sejatinya adalah penjaga moral masyarakat, pelayan keadilan yang bertindak dalam kerangka ketuhanan. Maka, saat negara menaikkan gaji, yang diangkat bukan hanya kesejahteraan, tetapi juga ekspektasi.

Publik berharap gaji tinggi akan menjauhkan hakim dari suap, dari kompromi moral, dan dari godaan kekuasaan. Tapi tanpa pembangunan karakter, gaji itu bisa menjadi justifikasi hidup mewah tanpa nilai.

Karena itu, negara tak cukup hanya menggaji, negara juga harus membina. Membangun integritas, memperkuat etika, dan membentuk kultur kehakiman yang tak bisa dibeli adalah langkah berikutnya agar amanah ilahi itu tidak terkhianati oleh keserakahan duniawi.

Irah-Irah Tak Boleh Berujung Irah-Irah: Tanpa Integritas, Keadilan Bisa Dibeli

Kalimat pembuka dalam setiap putusan pengadilan, "Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa," bukanlah hiasan simbolik atau basa-basi konstitusional. Itu adalah komitmen moral tertinggi yang memosisikan hakim sebagai wakil nilai-nilai ilahiah di dunia.

Namun, seberapa sering irah-irah itu menjadi sekadar teks suci yang kehilangan makna saat vonis tak lagi merefleksikan keadilan, melainkan akal-akalan? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun