Gaji Tinggi, Harapan Tinggi: Hakim Bukan Sekadar Profesi, Tapi Amanah Ilahi
Kebijakan Presiden yang menaikkan gaji hakim hingga 280 persen menandai era baru dalam penghargaan terhadap profesi hukum. Angka Rp 19 juta untuk hakim pemula bukan sekadar insentif material, tetapi sinyal bahwa negara menaruh kepercayaan tinggi kepada institusi peradilan.
Namun, menjadi hakim tak bisa dipandang sebatas pekerjaan bergaji tinggi. Ini bukan sekadar jabatan administratif, melainkan peran moral dan spiritual yang sangat berat.
Dalam setiap putusannya, hakim menuliskan kalimat sakral:Â "Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa." Kalimat ini bukan formalitas kosong, melainkan pengingat bahwa keputusan yang mereka buat akan memengaruhi hidup, nama baik, bahkan kebebasan seseorang.
Seorang hakim sejatinya adalah penjaga moral masyarakat, pelayan keadilan yang bertindak dalam kerangka ketuhanan. Maka, saat negara menaikkan gaji, yang diangkat bukan hanya kesejahteraan, tetapi juga ekspektasi.
Publik berharap gaji tinggi akan menjauhkan hakim dari suap, dari kompromi moral, dan dari godaan kekuasaan. Tapi tanpa pembangunan karakter, gaji itu bisa menjadi justifikasi hidup mewah tanpa nilai.
Karena itu, negara tak cukup hanya menggaji, negara juga harus membina. Membangun integritas, memperkuat etika, dan membentuk kultur kehakiman yang tak bisa dibeli adalah langkah berikutnya agar amanah ilahi itu tidak terkhianati oleh keserakahan duniawi.
Irah-Irah Tak Boleh Berujung Irah-Irah: Tanpa Integritas, Keadilan Bisa Dibeli
Kalimat pembuka dalam setiap putusan pengadilan, "Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa," bukanlah hiasan simbolik atau basa-basi konstitusional. Itu adalah komitmen moral tertinggi yang memosisikan hakim sebagai wakil nilai-nilai ilahiah di dunia.
Namun, seberapa sering irah-irah itu menjadi sekadar teks suci yang kehilangan makna saat vonis tak lagi merefleksikan keadilan, melainkan akal-akalan?Â