Dari Dasar Hukum hingga Kenyataan di Lapangan
Komite Sekolah bukanlah sekadar kelompok orang tua yang rajin hadir di rapat dan sibuk mengatur acara 17-an di sekolah. Dalam konteks hukum Indonesia, Komite Sekolah memiliki pijakan formal. Keberadaannya diatur dalam Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, yang menggantikan regulasi sebelumnya yakni Kepmendiknas No. 044/U/2002. Dalam aturan tersebut ditegaskan bahwa Komite Sekolah adalah badan mandiri yang dibentuk untuk mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu layanan pendidikan. Fungsinya tak main-main: memberi pertimbangan, mendukung baik secara finansial maupun non-finansial, melakukan pengawasan, hingga menjadi penghubung antara masyarakat dan sekolah.
Namun, meski aturannya jelas, tidak sedikit yang menanyakan: apakah peran dan keberadaan Komite Sekolah benar-benar dijalankan sebagaimana mestinya? Ataukah ia hanya menjadi simbol partisipatif yang diisi oleh segelintir orang tua yang punya cukup waktu dan jaringan untuk "nongkrong" bersama kepala sekolah? Di sinilah pentingnya menilik antara dasar hukum dan praktik nyatanya di lapangan.
Wadah Partisipasi atau Kongkow Elitis?
Ketika menyebut Komite Sekolah, sebagian masyarakat langsung terbayang para wali murid yang dekat dengan kepala sekolah, duduk di ruangan ber-AC sembari membicarakan kegiatan sekolah dan... terkadang juga urusan personal. Apalagi di sekolah-sekolah unggulan atau favorit, di mana nama besar sekolah menjadi magnet utama dan seringkali menjadi "akses" menuju jenjang lebih tinggi.
Tidak bisa dipungkiri, ada kekhawatiran bahwa Komite Sekolah di sekolah favorit bisa bertransformasi menjadi kelompok informal yang turut "membuka jalan" bagi anak-anak mereka agar lebih mudah diterima, baik di sekolah tersebut maupun ke jenjang berikutnya. Terlebih saat pendaftaran murid baru, isu "anak komite" kerap terdengar, meski tentu sulit dibuktikan secara kasat mata. Di sini, Komite Sekolah seakan menjelma menjadi elite kecil dalam ekosistem sekolah, yang kadang tak hanya mengawasi, tetapi justru menjadi bagian dari masalah transparansi dan keadilan dalam penerimaan siswa.
Fenomena ini memperlihatkan deviasi dari fungsi ideal Komite Sekolah. Bukannya memperkuat akuntabilitas sekolah, ia malah bisa menjadi alat mobilisasi kepentingan pribadi. Ini menjadi sinyal penting agar pengawasan internal, seperti oleh pengawas sekolah dan Dinas Pendidikan, tidak sekadar bersifat administratif, tetapi benar-benar menyentuh aspek etis dan sosiologis keberadaan Komite Sekolah.
Komite Sekolah dan Kepentingan Publik: Antara Harapan dan Kenyataan
Pada prinsipnya, Komite Sekolah dibentuk bukan hanya untuk membantu sekolah secara materi, tetapi juga sebagai jembatan antara kebutuhan publik dengan kebijakan sekolah. Namun di banyak tempat, masih sering kita temui Komite Sekolah yang hanya aktif saat ada kegiatan penggalangan dana, bazar sekolah, atau ketika laporan BOS harus ditandatangani.
Kehadiran Komite Sekolah sering tidak merepresentasikan seluruh kalangan wali murid. Mereka yang terpilih kerap berasal dari kelompok sosial tertentu, yang punya waktu, akses, bahkan mungkin "modal sosial" lebih besar dibandingkan wali murid biasa. Akibatnya, suara yang muncul dari Komite Sekolah bukanlah cerminan dari keseluruhan kebutuhan dan aspirasi masyarakat sekolah, melainkan lebih kepada agenda personal dan kelompok kecil.