Solo Menawarkan Jurus Baru, Bukan Sekadar Gimik Seremonial
Ketika dunia kerja semakin kompetitif dan dinamis, Solo memilih untuk tak sekadar berdiam diri. Inovasi terbaru dari Wali Kota Solo berupa "Kartu Layak Kerja" bukan hanya tambahan kartu dalam dompet anak muda, tapi sebuah pernyataan politik dan sosial bahwa pemerintah kota ikut turun tangan dalam menjembatani gap besar antara dunia pendidikan dan dunia kerja. Berbeda dari kartu-kartu lain yang lebih bersifat bantuan atau akses layanan, Kartu Layak Kerja ini memosisikan dirinya sebagai penghubung strategis antara potensi generasi muda dan kebutuhan riil dunia industri.
Inisiatif ini jelas bukan sekadar meneruskan warisan pendahulu. Jika Wali Kota sebelumnya dikenal dengan gebrakan infrastruktur dan branding kota, kini fokusnya beralih pada infrastruktur manusia. Sebuah langkah yang tak kalah strategis, mengingat tantangan terbesar masa depan adalah kualitas SDM, bukan sekadar kuantitasnya. Kartu ini bukan pula gimik musiman, tetapi representasi dari semangat baru: bahwa setiap warga, terutama Gen Z dan Gen Alpha, layak untuk bekerja, bukan karena belas kasihan, melainkan karena kompetensinya sudah diverifikasi dan diakui.
Dengan meluncurkan Kartu Layak Kerja, Solo mengukuhkan diri sebagai laboratorium kebijakan ketenagakerjaan yang layak diamati oleh kota-kota lain di Indonesia. Ini bukan hanya tentang menciptakan pekerja, tapi membangun ekosistem kerja yang sehat dan berorientasi masa depan. Jika eksekusinya tepat, kebijakan ini bisa menjadi cetak biru nasional. Tapi jika hanya jadi formalitas administratif tanpa ekosistem pendukung, maka akan bernasib sama seperti banyak kartu lain yang berakhir di laci meja, berdebu dan dilupakan.
Dari Entry-Level Hingga Manajerial: Menyusun Kriteria Layak yang Objektif
Untuk membuat "layak" menjadi ukuran yang bisa dioperasionalkan, Pemerintah Kota Solo menetapkan kriteria spesifik yang mengacu pada jenjang kerja: entry-level, klerikal, dan manajerial. Bukan hanya soal ijazah atau titel akademik, tapi kombinasi antara pendidikan formal, pengalaman kerja, dan sertifikasi keterampilan. Ini menunjukkan bahwa Solo sedang menggeser paradigma: dari hanya melihat latar belakang pendidikan, menjadi lebih inklusif terhadap mereka yang memiliki jalur non-formal tapi punya kompetensi yang setara.
Untuk pekerja entry-level, misalnya, tidak melulu harus lulusan D3 atau S1. Asal memiliki keterampilan dasar, semisal sertifikasi keahlian digital marketing, desain grafis, barista, atau coding dasar dari lembaga terpercaya, maka mereka bisa dianggap layak. Di level klerikal, kriteria menjadi kombinasi antara pengalaman kerja minimal satu hingga dua tahun dan bukti keterampilan seperti sertifikat administrasi perkantoran atau keuangan dasar. Sementara pada level manajerial, indikator yang digunakan jauh lebih kompleks: pengalaman kepemimpinan tim, sertifikasi manajemen, hingga rekam jejak proyek.
Dengan kriteria yang fleksibel namun terstruktur, Solo memberi sinyal kepada dunia kerja bahwa kelayakan seseorang bukan ditentukan oleh 'siapa' dia, tetapi 'apa' yang bisa dia lakukan dan tunjukkan. Ini sekaligus membuka ruang bagi kalangan yang selama ini terpinggirkan dari proses rekrutmen hanya karena tidak punya ijazah dari institusi ternama.
Namun pekerjaan rumah berikutnya adalah membangun sistem asesmen yang kredibel. Tidak cukup dengan pengakuan administratif, perlu ada sistem digitalisasi data pekerja, penilaian berbasis bukti (evidence-based assessment), serta validasi silang antara pemerintah, lembaga pelatihan, dan dunia industri. Kartu ini harus menjadi hasil akhir dari proses panjang yang terstandarisasi, bukan sekadar dicetak lalu dibagikan.
Gen Z, Gen Alpha, dan Jurang antara Sekolah dan Dunia Nyata