Ketika Rukun Islam Kelima Diiringi Asap yang Tak Menyentuh Langit Doa
Ibadah Suci, Barang Duniawi
Haji bukan sekadar perjalanan fisik menuju Tanah Suci, melainkan perjalanan ruhani yang menuntut totalitas pengabdian. Ini adalah puncak rukun Islam, klimaks dari perjalanan iman yang seharusnya membersihkan hati dari segala yang duniawi. Namun realitas di lapangan seringkali justru menampakkan kontras yang mengejutkan: jemaah yang membawa koper penuh bukan dengan buku doa, pakaian ihram, atau oleh-oleh untuk anak cucu, melainkan ratusan slof rokok.
Bukan dua, bukan tiga, tapi sampai 100 slof disita oleh otoritas Bea Cukai Arab Saudi dari koper jemaah Indonesia. Padahal aturan yang diberlakukan cukup jelas dan longgar: maksimal dua slof atau 200 batang per orang. Jika dibagi untuk musim haji selama 40 hari, itu masih cukup untuk lima batang per hari. Lantas, jika jemaah membawa hingga puluhan kali lipat dari batas wajar, benarkah itu untuk konsumsi pribadi?
Pertanyaan ini menyentuh relung logika dan hati nurani. Apakah ini tanda ketergantungan berlebihan? Atau justru mencerminkan niat tersembunyi untuk berdagang di Tanah Suci, menjadikan momen spiritual sebagai peluang ekonomi? Bahkan jika tidak untuk dijual, apakah betul rokok harus terus dibawa ke ruang suci yang seharusnya bersih dari polusi duniawi? Jangan-jangan, ketergantungan terhadap dunia tak ikut ditinggal di Tanah Air.
Ironi yang menusuk, sebab seharusnya koper haji adalah simbol kesiapan jiwa yang telah menanggalkan ego dan nafsu, bukan sekadar tempat penyimpanan barang duniawi. Ketika barang bawaan justru menjadi representasi dari kecanduan, haji pun berpotensi kehilangan substansinya: menjauh dari Allah, tapi mendekat pada kebiasaan lama yang belum rela ditinggalkan.
Fenomena Rokok dan "Astuti": Tradisi, Kebiasaan, atau Kebutuhan Palsu?
Di antara hiruk-pikuk jemaah yang mengenakan pakaian ihram putih bersih, ada kisah-kisah kecil yang diam-diam tumbuh di sela-sela ibadah. Salah satunya adalah cerita tentang sosok "Astuti", bukan nama perempuan, tapi kependekan dari motor Astrea Tujuh Tiga, yang melegenda di kalangan jemaah asal Madura. Motor bebek tua itu tak pernah lelah mengaspal dari satu penginapan ke penginapan lain di Tanah Suci. Si pengendara, biasanya pria paruh baya, bukan sekadar pengantar logistik, tapi pelayan setia jemaah: menyediakan rokok, kopi, balsem, minyak angin, hingga mi instan. Ia membawa "rasa rumah" ke tanah yang jauh dari kampung halaman. Dalam dirinya bercampur semangat ekonomi, dedikasi, dan, sayangnya, juga sikap permisif terhadap kebiasaan yang seharusnya ditinggalkan selama ibadah suci.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa bagi sebagian kalangan, rokok bukanlah sekadar kebutuhan, melainkan bagian dari identitas sosial. Tak sedikit yang beranggapan bahwa tanpa rokok, hari terasa hampa, bahkan ibadah pun kurang "mantap." Ada keyakinan keliru yang menyatakan bahwa sebatang rokok bisa membantu jemaah lebih fokus, lebih tenang, bahkan lebih khusyuk. Padahal itu hanya ilusi. Nikotin memberi ketergantungan, bukan ketenangan spiritual. Menghisap rokok di sela ibadah justru mereduksi makna sakral haji menjadi rutinitas biasa, seolah tak berbeda dengan kehidupan sehari-hari yang penuh kompromi dengan nafsu dan candu.
Di titik inilah kita perlu bertanya: apakah rokok di Tanah Suci adalah wujud keteguhan budaya atau kegagalan spiritual? Ketika jemaah masih membawa ratusan batang rokok ke tempat paling suci di muka bumi, mungkin yang perlu dibenahi bukan hanya barang bawaan, tapi juga pola pikir dan kesadaran. Karena sesungguhnya, yang paling layak dibakar di Tanah Suci adalah ego dan kebiasaan buruk, bukan sebatang rokok di sudut mulut yang mengepulkan asap di bawah langit penuh doa.