Â
Data yang Menggema, Tapi Tanpa Aksi Hanya Akan Kosong Makna
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) baru saja merilis data mengejutkan: perputaran uang judi online di Indonesia sepanjang kuartal pertama 2025 mencapai Rp47 triliun. Angka ini seolah menampar kesadaran publik bahwa praktik ilegal tersebut bukan lagi sekadar fenomena pinggiran, tetapi telah bertransformasi menjadi industri gelap yang masif, terstruktur, dan sangat merusak. Namun, sering kali kita melihat pola yang berulang: setiap kali data sebesar ini diungkap, atensi publik melonjak, media sibuk memberitakan, lalu isu ini meredup tanpa tindak lanjut yang benar-benar berdampak jangka panjang. Hal inilah yang menjadi akar persoalan, data sehebat apapun, jika tidak diikuti dengan langkah konkret dan berkesinambungan, hanya akan menjadi deretan angka tanpa makna.
Satgas Pemberantasan Judi Online memang telah dibentuk, tetapi efektivitasnya masih jauh dari harapan. Publik mulai lelah mendengar jargon pemblokiran situs yang ternyata hanya bersifat sementara karena pelaku judi online terus berinovasi dengan teknologi. Misalnya, mereka memanfaatkan VPN (Virtual Private Network), yaitu sebuah layanan yang memungkinkan pengguna mengakses internet secara anonim dan seolah-olah berasal dari lokasi lain. Dengan VPN, mereka bisa membuka situs yang sudah diblokir oleh pemerintah. Selain itu, para bandar juga menggunakan mirror site, yakni situs cadangan yang memiliki tampilan dan fungsi identik dengan situs utama, serta aplikasi yang selalu berganti nama dan domain agar lolos dari pemantauan.
Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) memang menjalankan tugas memblokir akses, namun ini baru menyentuh permukaan masalah. Sementara itu, Kepolisian menangkap pelaku di lapangan, tetapi jaringan yang lebih besar, terutama yang bermarkas di luar negeri, tetap tak tersentuh. Tanpa koordinasi yang solid antara PPATK sebagai pengumpul data, Komdigi sebagai penjaga gerbang digital, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai pengawas transaksi keuangan, serta aparat hukum sebagai eksekutor di lapangan, pemberantasan judi online hanya akan menjadi sandiwara tahunan. Data PPATK seharusnya bukan hanya menjadi headline sesaat, tetapi harus memicu audit menyeluruh, penelusuran alur uang, hingga pembekuan rekening yang mencurigakan. Jika tidak, kita akan terus berputar dalam siklus yang sama: heboh sesaat lalu lenyap tanpa jejak perubahan yang nyata.
Siapa Bertindak, Siapa Bertanggung Jawab: Mencari Garda Depan yang Tegas
Ketika bicara soal pemberantasan judi online, satu pertanyaan yang selalu muncul adalah: siapa sebenarnya yang harus bertindak paling cepat dan siapa yang memegang tanggung jawab paling besar? Faktanya, pemberantasan judi online bukan tugas satu instansi saja, melainkan kerja kolektif lintas sektor yang harus terkoordinasi dengan rapi. Di atas kertas, ada beberapa pemain kunci: PPATK yang bertugas mendeteksi aliran dana mencurigakan; Komdigi (Kementerian Komunikasi dan Digital) yang berwenang memblokir akses digital; OJK (Otoritas Jasa Keuangan) yang bisa memutus akses finansial; dan Kepolisian yang menjadi ujung tombak di lapangan untuk menangkap pelaku. Namun, masalah yang terus berulang adalah ego sektoral yang sering kali menghambat kecepatan tindakan.
Komdigi, misalnya, memang rutin memblokir ribuan situs judi online, namun di lapangan, situs-situs tersebut muncul kembali dalam hitungan jam atau hari. PPATK sudah berulang kali merilis data mencengangkan soal transaksi yang mencurigakan, tetapi banyak yang berhenti hanya pada level pelaporan tanpa tindakan lanjutan yang konkret. Kepolisian pun, meski rajin melakukan penggerebekan, umumnya hanya menangkap pelaku kelas teri, sementara jaringan internasional yang menjadi otak bisnis ini tetap melenggang bebas karena terbentur yurisdiksi. Yang lebih miris, OJK kerap kali lambat dalam membekukan rekening yang sudah jelas terindikasi terlibat dalam aktivitas judi online. Akibatnya, aliran dana tetap lancar meski situs diblokir dan pelaku ditangkap.
Sebenarnya, Indonesia punya modal dasar yang kuat untuk memberantas kejahatan digital jika semua institusi berjalan dalam satu garis koordinasi yang solid. Satgas Pemberantasan Judi Online yang sudah dibentuk harus lebih diberdayakan, bukan sekadar menjadi alat seremonial. Yang dibutuhkan adalah sistem kerja yang agile, di mana PPATK segera memvalidasi data, Komdigi langsung mengeksekusi pemutusan akses, OJK memblokir rekening dalam tempo secepat-cepatnya, dan Kepolisian menangkap pelaku tanpa menunggu lama. Selain itu, Indonesia harus mulai memperkuat kerja sama dengan negara lain melalui interpol dan perjanjian bilateral agar jaringan internasional bisa dihabisi sampai ke akarnya. Tanpa itu semua, pemberantasan judi online hanya akan jadi headline musiman yang berulang tanpa hasil.
Belajar dari Negara Lain: Regulasi Ketat dan Kerja Sama Internasional
Kalau kita mau serius memutus mata rantai judi online, belajar dari negara lain adalah keharusan, bukan pilihan. Australia menjadi salah satu contoh sukses yang layak ditiru. Di sana, Australian Communications and Media Authority (ACMA) menjalankan tugasnya dengan ketat: mereka tidak hanya memblokir situs judi ilegal, tetapi juga menindak tegas perusahaan penyedia layanan internet (ISP) yang lalai dalam mematuhi aturan. Bahkan, denda yang dijatuhkan bisa mencapai jutaan dolar Australia jika ada kelalaian. Lebih dari itu, Australia punya regulasi yang mengharuskan semua transaksi judi online terdaftar dan diawasi secara transparan. Jadi, celah untuk judi ilegal bisa ditekan seminimal mungkin.