Badai PHK dan Ancaman Daya Beli yang Makin Nyata  Â
Fenomena badai PHK bukan sekadar isapan jempol atau alarm kosong yang dilepas oleh Bank Indonesia (BI), melainkan kenyataan yang kini mulai menunjukkan wajah aslinya. Data dari Kementerian Ketenagakerjaan mencatat bahwa hingga akhir kuartal pertama 2025, sekitar 170 ribu pekerja formal telah mengalami pemutusan hubungan kerja. Lonjakan ini cukup mengkhawatirkan, terutama jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang mencatat 120 ribu kasus PHK. Sektor-sektor padat karya seperti tekstil, alas kaki, dan elektronik menjadi korban terbesar, terdampak oleh kombinasi lemahnya permintaan ekspor akibat ketegangan geopolitik global dan meningkatnya biaya produksi domestik yang tidak kunjung reda. Tak hanya di sektor manufaktur, gelombang PHK juga mulai merembet ke sektor jasa, terutama perusahaan teknologi dan startup yang sedang melakukan efisiensi besar-besaran akibat turunnya pendanaan.
Imbas dari badai PHK ini tentu sangat terasa di tingkat rumah tangga. Daya beli, yang selama ini menjadi mesin penggerak utama konsumsi domestik, kini mulai tergerus. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang dirilis BI pada Maret 2025 menunjukkan angka 118, level terendah sejak pertengahan 2023, menandakan bahwa kekhawatiran masyarakat terhadap kondisi ekonomi ke depan kian memuncak. PHK massal membuat banyak keluarga menahan pengeluaran, yang berpotensi memicu spiral perlambatan ekonomi. Di sisi lain, BI juga menyoroti bahwa jika daya beli terus melemah tanpa penopang yang memadai, target pertumbuhan ekonomi yang dipatok pemerintah akan sulit tercapai. Badai PHK ini ibarat lingkaran setan: perusahaan memangkas karyawan untuk bertahan, tapi di sisi lain daya beli yang melemah membuat pemulihan ekonomi berjalan lambat. Inilah yang menjadi perhatian utama BI, karena menjaga stabilitas konsumsi domestik adalah kunci agar ekonomi Indonesia tetap tangguh di tengah guncangan global yang tak menentu.
Peran Strategis Bank Indonesia Menekan Laju PHK Â Â Â Â
Bank Indonesia (BI), meski tidak memegang mandat langsung di bidang ketenagakerjaan, memegang peran strategis dalam menciptakan ekosistem ekonomi yang kondusif bagi keberlangsungan usaha dan serapan tenaga kerja. Salah satu instrumen utama BI adalah kebijakan moneter melalui pengaturan suku bunga acuan. Pada awal 2025, BI memutuskan untuk memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 6% guna memberikan stimulus likuiditas kepada dunia usaha yang tengah terpukul. Kebijakan ini bertujuan agar perusahaan, terutama di sektor padat karya seperti tekstil dan manufaktur, memiliki ruang bernapas yang lebih luas untuk mempertahankan operasional mereka tanpa harus memangkas jumlah pekerja secara drastis.
Selain itu, BI memperkuat kebijakan makroprudensial longgar dengan menaikkan rasio loan-to-value (LTV) dan memperpanjang relaksasi kredit untuk sektor properti, otomotif, serta UMKM, yang semuanya punya kontribusi signifikan dalam penciptaan lapangan kerja. BI juga mengakselerasi digitalisasi ekonomi melalui percepatan penggunaan QRIS, yang kini telah menjangkau lebih dari 45 juta pengguna aktif di seluruh Indonesia. Ini bukan hanya tentang modernisasi sistem pembayaran, tetapi juga langkah konkret BI untuk memperkuat bisnis mikro agar tetap bertahan dan meminimalkan risiko PHK di sektor informal.
Tak kalah penting, BI aktif dalam koordinasi lintas sektor melalui Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), mendorong sinergi antara kebijakan fiskal dan moneter untuk menjaga daya tahan ekonomi nasional. Dengan strategi ini, BI berusaha memastikan bahwa tekanan PHK yang terjadi dapat ditekan, seraya menjaga agar dunia usaha tetap memiliki akses ke pendanaan yang murah dan lancar demi keberlangsungan tenaga kerja.
 BI dan Kontribusi Nyata untuk Visi Pertumbuhan 8% Prabowo Â
Visi ambisius Presiden Prabowo untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai minimal 8% per tahun jelas bukan perkara mudah, apalagi di tengah ketidakpastian global yang membayangi. Namun, Bank Indonesia (BI) berkomitmen penuh untuk mengambil peran strategis dalam menopang capaian tersebut melalui berbagai kebijakan yang diarahkan pada stabilitas dan ekspansi ekonomi. Salah satu indikator kunci adalah pengendalian inflasi. BI menargetkan inflasi tetap terjaga di angka 2,5% 1% pada 2025, dan per Maret 2025 inflasi tercatat di level 2,8%, menandakan ruang yang cukup stabil untuk mendorong pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang menjadi pilar utama ekonomi Indonesia.
Di sisi nilai tukar, BI juga bekerja keras menjaga kestabilan rupiah yang pada April 2025 berada di kisaran Rp15.800 per USD, relatif stabil meski ada tekanan global dari kenaikan suku bunga The Fed. Kebijakan dedolarisasi yang BI dorong melalui kerja sama Local Currency Transaction (LCT) dengan mitra dagang utama seperti Tiongkok, Malaysia, dan Jepang, ikut memperkuat ketahanan eksternal Indonesia. BI juga semakin memperkuat pembiayaan sektor produktif melalui insentif bagi perbankan yang menyalurkan kredit ke sektor hilirisasi, pertanian modern, dan industri strategis, yang sejalan dengan visi Prabowo untuk mempercepat industrialisasi dan meningkatkan nilai tambah ekonomi.
Selain itu, BI aktif mempromosikan digitalisasi ekonomi sebagai katalis pertumbuhan baru. Program digitalisasi UMKM dan optimalisasi transaksi QRIS menjadi bagian dari strategi BI memperluas basis ekonomi domestik. Dengan sinergi yang kuat antara pemerintah, dunia usaha, dan BI sebagai penjaga stabilitas makroekonomi, target 8% pertumbuhan menjadi lebih realistis untuk dikejar dalam periode pemerintahan ini.
Satu Komando Hadapi Badai PHK, Bangun Fondasi 8% Â Â Â Â Â
Peringatan yang disampaikan Bank Indonesia soal potensi badai PHK bukan sekadar alarm biasa, melainkan refleksi dari kompleksitas tantangan ekonomi yang sedang dihadapi Indonesia. Lonjakan PHK yang terjadi sejak awal 2025 menunjukkan bahwa dunia usaha sedang bergulat keras dengan tekanan biaya produksi, ketidakpastian global, hingga perubahan pola konsumsi. Dampaknya sangat nyata: daya beli masyarakat mulai melemah, yang berpotensi memicu perlambatan ekonomi jika tidak segera ditangani secara sistemik. Namun di tengah tantangan tersebut, BI menunjukkan peran vitalnya sebagai penjaga stabilitas makroekonomi yang bukan hanya reaktif, tapi juga proaktif.
Langkah-langkah seperti pemangkasan suku bunga acuan, relaksasi kredit, hingga percepatan digitalisasi melalui QRIS bukan sekadar kebijakan teknis, tapi bagian dari strategi jangka panjang untuk mempertahankan keberlangsungan usaha dan serapan tenaga kerja. Visi besar Presiden Prabowo untuk mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 8% memerlukan sinergi yang kuat dari seluruh pemangku kepentingan. Dalam konteks ini, BI telah menempatkan diri sebagai pilar penting dalam menjaga pondasi ekonomi tetap kokoh, mulai dari pengendalian inflasi, stabilisasi nilai tukar, hingga mendorong pembiayaan sektor produktif.