Mohon tunggu...
A Iskandar Zulkarnain
A Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... SME enthusiast, Hajj and Umra enthusiast, Finance and Banking practitioners

Iskandar seorang praktisi Keuangan dan Perbankan yang berpengalaman selama lebih dari 35 tahun. Memiliki sejumlah sertifikat profesi dan kompetensi terkait dengan Bidang Manajemen Risiko Perbankan Jenjang 7, Sertifikat Kompetensi Manajemen Risiko Utama (CRP), Sertifikat Kompetensi Investasi (CIB), Sertifikat Kompetensi International Finance Management (CIFM) dan Sertifikat Kompetensi terkait Governance, Risk Management & Compliance (GRCP) yang di keluarkan oleh OCEG USA, serta Sertifikasi Kompetensi Management Portofolio (CPM). Iskandar juga berkiprah di sejumlah organisasi kemasyarakatan ditingkat Nasional serta sebagai Ketua Umum Koperasi Syarikat Dagang Santri. Belakangan Iskandar juga dikenal sebagai sosok dibalik kembalinya Bank Muamalat ke pangkuan bumi pertiwi.

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Utang Pemerintah: Antara Strategi Front Loading dan Jerat Fiskal ?

29 April 2025   17:05 Diperbarui: 29 April 2025   14:58 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://ekonomi.bisnis.com/read/20200118/9/1191513/strategi-front-loading-masih-jadi-andalan-pembiayaan

Di Balik Tumpukan Utang, Ada Strategi yang Direncanakan

Ketika angka utang pemerintah diumumkan kepada publik, wajar jika sebagian masyarakat langsung waswas. Apakah ini tanda negara semakin tekor? Atau justru strategi matang dalam mengantisipasi badai ekonomi global? Pemerintah lewat Kementerian Keuangan memperkenalkan strategi front loading untuk pembiayaan APBN 2025, yaitu menarik sebagian besar utang di awal tahun. Sampai Maret 2025 saja, pemerintah sudah mengumpulkan Rp270,4 triliun dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN), melonjak tajam dibanding Rp105,6 triliun pada periode yang sama tahun lalu. Ini jelas bukan angka kecil. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut langkah ini untuk mengantisipasi ketegangan global, khususnya perang tarif Presiden Donald Trump terhadap Indonesia dan negara-negara lain, serta kekhawatiran suku bunga global yang terus fluktuatif.

Secara teori, strategi ini masuk akal. Dengan "mencicil" utang di saat kondisi pasar masih bersahabat, negara bisa mengamankan dana belanja tanpa harus membayar bunga terlalu mahal ketika ketidakpastian pasar datang. Namun tetap saja, narasi ini mengundang kecurigaan sebagian kalangan. Apakah front loading ini semata untuk mengamankan kebutuhan riil pembangunan, ataukah hanya untuk menambal lubang-lubang fiskal akibat belanja yang sudah tidak lagi efisien? Jika sumber utang dipakai produktif, seperti untuk proyek infrastruktur, kesehatan, pendidikan, dan transformasi ekonomi berbasis digital, maka beban masa depan dapat dipikul dengan hasil nyata. Tapi jika tidak, kita hanya memindahkan bom waktu ke pundak generasi mendatang. Inilah kenapa penting untuk mengawasi dan mengkritisi: karena di balik strategi yang terdengar mulia, tetap harus ada transparansi dan akuntabilitas.

Front Loading: Bukan Jurus Baru, Tapi Jurus Berani

Menggunakan konsep front loading dalam pembiayaan negara sejatinya bukan sesuatu yang benar-benar baru di dunia ekonomi makro. Banyak negara telah melakukannya, terutama saat ketidakpastian pasar global meningkat. India, misalnya, kerap menarik hingga 60 persen kebutuhan utangnya pada paruh pertama tahun fiskal untuk mengantisipasi volatilitas di pasar surat utang. Bahkan Filipina dan Malaysia juga beberapa kali melakukan hal serupa, belajar dari pengalaman krisis Asia 1997 bahwa timing dalam menarik pembiayaan menjadi segalanya. Indonesia memilih untuk memodifikasi praktik ini dengan adaptasi lokal: mengutamakan fleksibilitas dan kehati-hatian agar tetap menjaga kepercayaan pasar.

Penerapan front loading di Indonesia memang cukup berani mengingat kondisi domestik yang tidak sepenuhnya stabil. Di satu sisi, langkah ini memperlihatkan bahwa pemerintah memahami pentingnya 'memotong gelombang' sebelum badai besar tiba. Jika berhasil, negara dapat menghemat biaya bunga utang, memperlancar penyerapan anggaran pembangunan di awal tahun, dan menjaga momentum pertumbuhan ekonomi nasional. Di sisi lain, risiko terbesar adalah jika dana yang sudah ditarik besar di awal ternyata tidak bisa diserap secara optimal. Dana menganggur, beban bunga tetap berjalan, dan tekanan fiskal bisa bertambah.

Selain itu, ada faktor psikologis pasar yang perlu diperhatikan. Terlalu agresif menarik utang di awal tahun bisa memunculkan persepsi bahwa likuiditas negara sedang bermasalah, apalagi jika tidak dibarengi dengan komunikasi fiskal yang transparan dan kredibel. Oleh karena itu, front loading butuh bukan hanya teknik keuangan semata, melainkan juga strategi komunikasi yang presisi. Menjelaskan kepada pasar bahwa langkah ini adalah bentuk perencanaan jangka panjang, bukan tanda darurat fiskal. Di sinilah keberanian pemerintah diuji: bukan sekadar berani menarik utang, tapi berani menjaga kredibilitas hingga utang tersebut membuahkan hasil nyata.

Utang Produktif: Mitos atau Realitas?

Dalam setiap perdebatan soal utang negara, pertanyaan terbesar selalu sama: Apakah utang tersebut digunakan secara produktif? Pemerintah Indonesia mengklaim bahwa seluruh dana utang, termasuk hasil strategi front loading, dialokasikan untuk belanja produktif. Belanja produktif berarti membiayai proyek infrastruktur, pendidikan, kesehatan, sosial, dan transformasi ekonomi nasional yang dapat meningkatkan kapasitas produktif bangsa dalam jangka panjang. Misalnya, jalan tol, bendungan, pelabuhan, bandara, hingga program subsidi UMKM, pelatihan tenaga kerja, serta pembangunan infrastruktur digital.

Namun, mengukur produktivitas utang tidaklah sederhana. Sebuah jalan tol yang dibangun dengan dana utang memang bisa meningkatkan mobilitas, menurunkan biaya logistik, dan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Tapi butuh waktu bertahun-tahun sebelum manfaat itu bisa dirasakan penuh. Sebaliknya, utang yang digunakan untuk membiayai belanja pegawai atau subsidi konsumtif berlebihan hanya akan menimbulkan beban jangka panjang tanpa efek ekonomi yang nyata. Untuk itu, pemerintah perlu membuka data secara transparan: berapa persen dari utang baru yang benar-benar dialokasikan ke proyek produktif, berapa persen untuk belanja rutin, dan bagaimana indikator pengukurannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun