Jakarta Tajir, Tapi Ketimpangan Menganga
Jakarta, Megah dalam Anggaran, Sempit dalam Keadilan
Di tengah kemegahan ibu kota, Pramono Anung memilih langkah berani: menolak program pemutihan pajak kendaraan.
Bukan tanpa alasan. DKI Jakarta memang bukan provinsi biasa. Dengan wilayah administratif yang hanya terdiri dari lima kota dan satu kabupaten, Jakarta mengelola APBD raksasa, mencapai Rp91,34 triliun di tahun 2025.
Sementara itu, provinsi dengan cakupan dan jumlah penduduk jauh lebih besar seperti Jawa Barat hanya memiliki APBD Rp31,68 triliun. Provinsi Banten bahkan lebih kecil, hanya Rp13,2 triliun.
Jika bicara daya fiskal, Jakarta tidak bisa dibandingkan dengan daerah lain, ia berdiri di atas puncak piramida keuangan Indonesia.
Namun kemegahan angka ini menyisakan ironi yang dalam. Jakarta memang kaya secara kas daerah, tapi sempit dalam distribusi keadilan.
Penduduk Jakarta, meskipun "hanya" sekitar 10,67 juta jiwa pada 2025, tetap menghadapi tantangan pelik: biaya hidup mahal, keterbatasan hunian layak, dan kesenjangan akses layanan publik.
Kota ini menjadi ajang kontras antara gedung-gedung mewah SCBD dengan deretan rumah sempit di gang-gang padat.
Dengan APBD yang seharusnya mampu memperbaiki kehidupan warganya secara merata, pemberian pemutihan pajak kepada kalangan yang mampu memiliki 2--3 mobil terasa seperti kejahatan sosial terselubung.