Ketika Surat Lebih Didengar daripada Sekolah, dan Emansipasi Menyusuri Jejak Digital Gen Z hingga Generasi Alpha
Ketika Surat Menjadi Simbol Emansipasi
Setiap tanggal 21 April, Indonesia merayakan Hari Kartini dengan segala kemeriahan. Anak-anak berseragam kebaya, pidato-pidato menggaungkan emansipasi, dan nama R.A. Kartini kembali menjadi sorotan. Sosoknya diposisikan sebagai pionir perjuangan perempuan Indonesia, ikon emansipasi yang menembus zaman.Â
Namun, jika kita telusuri lebih jauh, sebuah pertanyaan mengemuka dengan kuat: mengapa Kartini yang dipilih menjadi simbol emansipasi, bukan Dewi Sartika yang secara konkret mendirikan sekolah perempuan pertama di Hindia Belanda pada tahun 1904?
Kartini memang menulis banyak surat kepada sahabat-sahabat Eropanya, seperti Rosa Abendanon, yang kemudian dibukukan menjadi Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang).Â
Surat-surat itu penuh gagasan, keresahan, dan harapan. Ia menggugat sistem feodal yang membelenggu perempuan Jawa, ia memimpikan pendidikan sebagai jalan kemajuan perempuan. Tetapi, surat tetaplah surat, lebih bersifat intelektual, moral, dan inspiratif. Kartini wafat pada usia 25 tahun, bahkan sebelum sempat merealisasikan mimpinya untuk membuka sekolah perempuan secara masif.
Di sisi lain, Dewi Sartika bergerak lebih konkret. Ia mendirikan Sekolah Istri di Bandung pada 16 Januari 1904, yang kemudian berganti nama menjadi Sakola Kautamaan Istri. Sekolah ini memberikan pendidikan dasar kepada anak-anak perempuan pribumi: membaca, menulis, menghitung, dan keterampilan hidup sehari-hari.Â
Dalam dunia kolonial yang menganggap perempuan sebagai warga kelas dua, langkah Dewi Sartika adalah terobosan monumental. Ia tidak hanya berbicara tentang emansipasi, ia mewujudkannya.
Kartini dan Politik Representasi Kolonial
Jika demikian, mengapa sejarah lebih memilih Kartini ketimbang Dewi Sartika sebagai lambang emansipasi? Jawabannya tak lepas dari peran kolonialisme Belanda dalam mengemas narasi yang "layak jual".Â