Mohon tunggu...
A Iskandar Zulkarnain
A Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... SME enthusiast, Hajj and Umra enthusiast, Finance and Banking practitioners

Iskandar seorang praktisi Keuangan dan Perbankan yang berpengalaman selama lebih dari 35 tahun. Memiliki sejumlah sertifikat profesi dan kompetensi terkait dengan Bidang Manajemen Risiko Perbankan Jenjang 7, Sertifikat Kompetensi Manajemen Risiko Utama (CRP), Sertifikat Kompetensi Investasi (CIB), Sertifikat Kompetensi International Finance Management (CIFM) dan Sertifikat Kompetensi terkait Governance, Risk Management & Compliance (GRCP) yang di keluarkan oleh OCEG USA, serta Sertifikasi Kompetensi Management Portofolio (CPM). Iskandar juga berkiprah di sejumlah organisasi kemasyarakatan ditingkat Nasional serta sebagai Ketua Umum Koperasi Syarikat Dagang Santri. Belakangan Iskandar juga dikenal sebagai sosok dibalik kembalinya Bank Muamalat ke pangkuan bumi pertiwi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Kartini, Dewi Sartika, dan Emansipasi yang Dipilih Sejarah

21 April 2025   00:01 Diperbarui: 23 April 2025   11:01 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sekolah Kartini di Bogor sekitar tahun 1920. (Sumber: Tropenmuseum via kompas.com)

Ketika Surat Lebih Didengar daripada Sekolah, dan Emansipasi Menyusuri Jejak Digital Gen Z hingga Generasi Alpha

Ketika Surat Menjadi Simbol Emansipasi

Setiap tanggal 21 April, Indonesia merayakan Hari Kartini dengan segala kemeriahan. Anak-anak berseragam kebaya, pidato-pidato menggaungkan emansipasi, dan nama R.A. Kartini kembali menjadi sorotan. Sosoknya diposisikan sebagai pionir perjuangan perempuan Indonesia, ikon emansipasi yang menembus zaman. 

Namun, jika kita telusuri lebih jauh, sebuah pertanyaan mengemuka dengan kuat: mengapa Kartini yang dipilih menjadi simbol emansipasi, bukan Dewi Sartika yang secara konkret mendirikan sekolah perempuan pertama di Hindia Belanda pada tahun 1904?

Kartini memang menulis banyak surat kepada sahabat-sahabat Eropanya, seperti Rosa Abendanon, yang kemudian dibukukan menjadi Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang). 

Surat-surat itu penuh gagasan, keresahan, dan harapan. Ia menggugat sistem feodal yang membelenggu perempuan Jawa, ia memimpikan pendidikan sebagai jalan kemajuan perempuan. Tetapi, surat tetaplah surat, lebih bersifat intelektual, moral, dan inspiratif. Kartini wafat pada usia 25 tahun, bahkan sebelum sempat merealisasikan mimpinya untuk membuka sekolah perempuan secara masif.

Di sisi lain, Dewi Sartika bergerak lebih konkret. Ia mendirikan Sekolah Istri di Bandung pada 16 Januari 1904, yang kemudian berganti nama menjadi Sakola Kautamaan Istri. Sekolah ini memberikan pendidikan dasar kepada anak-anak perempuan pribumi: membaca, menulis, menghitung, dan keterampilan hidup sehari-hari. 

Dalam dunia kolonial yang menganggap perempuan sebagai warga kelas dua, langkah Dewi Sartika adalah terobosan monumental. Ia tidak hanya berbicara tentang emansipasi, ia mewujudkannya.

Kartini dan Politik Representasi Kolonial

Jika demikian, mengapa sejarah lebih memilih Kartini ketimbang Dewi Sartika sebagai lambang emansipasi? Jawabannya tak lepas dari peran kolonialisme Belanda dalam mengemas narasi yang "layak jual". 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun