Dari Sanksi ke Insentif, Menembus Sekat: Ketika Kebijakan Impor Tak Lagi Dibatasi Kuota
Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto membuka babak baru dalam sistem perdagangan nasional dengan mencabut sistem kuota impor untuk sejumlah komoditas pokok dan strategis.Â
Langkah ini bertujuan menghilangkan monopoli terselubung dan memberi ruang bagi semua pelaku usaha untuk berpartisipasi dalam rantai pasok.Â
Kuota yang dulu menjadi alat kontrol sekaligus sumber rente kini digantikan oleh mekanisme pasar dengan pengawasan mutu dan safeguard WTO.
Namun, kebijakan ini tidak sepenuhnya lepas dari risiko. Tanpa sistem kuota yang ketat, potensi masuknya barang impor secara masif sangat besar. Hal ini bisa mengancam pelaku usaha dalam negeri, terutama produsen kecil yang tak mampu bersaing dari sisi harga atau volume produksi.Â
Banyak asosiasi industri menyoroti kemungkinan flooding pasar oleh produk luar yang kualitasnya tidak kalah, namun harganya lebih murah karena skala ekonomi yang besar. Bila tidak disertai perlindungan struktural, misalnya melalui subsidi, upskilling tenaga kerja, atau transformasi teknologi, maka deregulasi ini bisa menjadi bumerang.
Di sisi lain, kebijakan ini rentan menimbulkan konflik kepentingan, terutama pada sisi pelaksanaannya. Dalam praktiknya, celah interpretasi dalam pengawasan mutu dan regulasi bea masuk kerap dijadikan celah oleh importir besar untuk bermain harga dan kuantitas.Â
Bukan tidak mungkin kebijakan ini justru memperkuat dominasi korporasi besar dan melemahkan distribusi keuntungan bagi pelaku ekonomi kecil.Â
Rakyat boleh jadi diuntungkan dalam jangka pendek oleh harga murah, tapi dalam jangka panjang bisa kehilangan kedaulatan atas produk dalam negeri jika industri nasional terus melemah.
TKDN: Dari Ancaman Sanksi Menuju Stimulan Insentif