FOMO Beli Emas, Jangan Menaruh Telor dalam Satu Keranjang
Ketika Rasa Takut Ketinggalan Membawa Masalah
Dalam dunia investasi, FOMO atau Fear of Missing Out adalah racun yang terasa manis di awal, tapi bisa menyakitkan di akhir. Dorongan untuk segera ikut menanamkan modal hanya karena melihat orang lain untung, seringkali membuat kita lupa mengecek: "Apakah ini sesuai dengan kondisi keuangan dan profil risiko saya?" Kita terpancing euforia, bukan logika. Media sosial kian memperburuk keadaan, tampilan portofolio hijau milik teman, testimoni cuan dadakan dari influencer, hingga berita viral tentang harga emas tembus rekor membuat banyak orang merasa harus segera ikut masuk pasar. Tidak sedikit yang nekat berinvestasi tanpa pengetahuan dasar, bahkan menggunakan dana kebutuhan sehari-hari, hanya demi tidak merasa "tertinggal".
Fenomena ini makin terasa belakangan. Sejak harga emas melonjak menjadi Rp1.904.000 per gram pada April 2025, antrean pembeli emas di berbagai kota mengular sejak subuh. Mereka rela berdiri di depan toko, meski tak semua tahu apakah harga yang dibeli itu puncak atau awal dari koreksi. Ini bukan sekadar minat terhadap emas, tapi gejala FOMO massal. Sayangnya, dalam investasi, mengikuti kerumunan tanpa strategi justru bisa membawa kerugian. FOMO membuat kita masuk saat harga sudah tinggi dan keluar saat pasar jatuh, sebuah kebalikan dari prinsip dasar: beli saat murah, jual saat mahal. Oleh karena itu, penting bagi investor untuk mengubah FOMO menjadi Fear of Missing Fundamentals: takut ketinggalan pemahaman, bukan sekadar ketinggalan tren. Sebab dalam dunia keuangan, yang benar-benar untung bukan yang cepat ikut-ikutan, tapi yang sabar membangun pondasi.
Diversifikasi: Telur, Keranjang, dan Ketenangan Pikiran
Pepatah lama "jangan menaruh semua telur dalam satu keranjang" bukan sekadar nasihat dapur nenek, tapi juga prinsip emas dalam dunia investasi. Ketika semua dana kita tempatkan pada satu jenis instrumen, maka kita sedang berjudi terhadap satu skenario sukses. Tapi dunia tak pernah berjalan sesederhana itu. Diversifikasi adalah cara kita melindungi aset dari ketidakpastian pasar, sebuah strategi yang tampak sederhana namun terbukti efektif untuk menyeimbangkan risiko dan potensi imbal hasil.
Bayangkan jika seluruh investasi ditaruh di saham teknologi, lalu terjadi koreksi seperti pada kuartal pertama 2025 di mana sektor tersebut turun 3,2% saat IHSG justru naik 5,7%. Atau jika semua dana dialokasikan ke emas ketika harga sedang memuncak seperti April 2025, lalu terjadi penurunan tajam karena aksi ambil untung global. Tanpa diversifikasi, portofolio bisa goyah hanya karena satu sektor atau instrumen. Sebaliknya, dengan menyebarkan investasi ke beberapa kelas aset seperti saham, obligasi, emas, deposito, dan properti, kita memberi ruang bagi keseimbangan, saat satu turun, yang lain bisa menopang.
Diversifikasi juga penting karena tujuan dan kebutuhan tiap individu berbeda. Uang pendidikan anak lima tahun lagi tidak bisa ditaruh semua di saham yang fluktuatif. Uang pensiun sepuluh tahun lagi tak bisa semua masuk deposito yang bunganya kalah dari inflasi. Dengan membagi portofolio berdasarkan jangka waktu, profil risiko, dan kebutuhan likuiditas, kita sedang menenun jaring pengaman. Diversifikasi bukan hanya soal alat investasi, tapi juga soal membangun ketenangan. Karena pada akhirnya, investasi bukan sekadar mengejar cuan, tapi juga menjaga kewarasan dan ketenangan dalam menghadapi pasang surut dunia finansial.
Kenali Karakter Setiap Instrumen: Jangan Asal Serok
Dalam dunia investasi, mengenal karakter instrumen ibarat mengenal pasangan hidup, jika tak tahu sifat dasarnya, bisa jadi hubungan yang dibangun hanya akan berujung kecewa. FOMO seringkali membuat orang asal "serok" tanpa pikir panjang. Lihat orang cuan dari saham, langsung beli tanpa riset. Lihat tetangga beli emas, langsung ikut borong. Padahal, setiap instrumen memiliki watak, risiko, dan kecocokan tersendiri, tergantung tujuan dan keuangan pribadi.