Ketika Takbir Menggema Serempak: Mengurai Harmoni 1 Syawal Negeri Ini.
Kalender Masyarakat dan Kemapanan Hisab: Menakar Waktu dari Langit
Setiap menjelang akhir Ramadan, banyak masyarakat Indonesia sebenarnya sudah mengetahui kapan Idulfitri akan dirayakan. Kalender di rumah mereka, di masjid-masjid, pesantren, toko, dan sekolah-sekolah sudah menyebutkan tanggal 1 Syawal. Bahkan aplikasi kalender di ponsel pintar pun telah menandai hari kemenangan jauh sebelum takbir berkumandang. Maka wajar jika pertanyaan mengemuka: mengapa penetapan pemerintah tentang 1 Syawal tampak selalu sama dengan penanggalan yang beredar di masyarakat?
Untuk menjawab ini, kita perlu menyadari bahwa kalender yang beredar luas di masyarakat sebagian besar disusun dengan metode hisab, atau perhitungan astronomis. Hisab bukanlah metode baru dalam Islam, melainkan sudah dipraktikkan berabad-abad. Kini, dengan bantuan teknologi modern dan data astronomi yang presisi, hasil hisab dapat memperkirakan momen pergantian bulan dengan akurasi yang tinggi.
Ormas-ormas besar seperti Muhammadiyah, Persis, dan NU memiliki lembaga hisab masing-masing. Muhammadiyah misalnya, menggunakan metode hisab hakiki wujudul hilal, yaitu selama posisi bulan sudah di atas ufuk saat matahari terbenam, maka malam itu dianggap sebagai awal bulan baru, tanpa harus menunggu pengamatan visual. Karena itu, Muhammadiyah dapat menetapkan kalender hijriah jauh-jauh hari, bahkan untuk lima tahun ke depan.
Kalender lain yang digunakan masyarakat biasanya juga mengacu pada hisab institusi falak, seperti data dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), atau mengikuti kalender dari ormas Islam tertentu. Oleh sebab itu, tidak mengherankan bila kalender di masyarakat sering kali menunjukkan tanggal yang sama dengan keputusan pemerintah, karena keduanya bersumber dari metode ilmiah yang sama: hisab.
Namun demikian, banyak masyarakat tetap menunggu pengumuman resmi pemerintah. Bukan karena tidak percaya pada kalender, tetapi sebagai bentuk kebersamaan dalam ibadah. Penetapan resmi menjadi simbol ukhuwah dan keputusan kolektif yang diakui secara nasional. Inilah bentuk kearifan sosial di tengah keragaman pendekatan keagamaan.
Ketika Langit Diperiksa: Mekanisme Sidang Isbat Pemerintah
Pemerintah Republik Indonesia, melalui Kementerian Agama, memiliki mekanisme formal untuk menetapkan awal bulan hijriah, termasuk 1 Syawal. Mekanisme itu dikenal dengan nama Sidang Isbat, yang diselenggarakan setiap akhir bulan Ramadan. Sidang ini bukan sekadar forum administratif, melainkan ajang ilmiah, teologis, dan simbolik yang menyatukan berbagai pendekatan dalam satu keputusan negara.
Sidang isbat menggabungkan dua metode utama, yakni hisab dan rukyat. Hisab digunakan untuk memperkirakan kemungkinan terlihatnya hilal (bulan sabit muda) berdasarkan data astronomi. Namun hasil akhir tetap memperhatikan laporan rukyat, yaitu observasi langsung terhadap hilal di berbagai lokasi pengamatan yang telah ditentukan.