Fenomena Sosial yang Berkembang dari Tekanan Hidup
Dalam beberapa tahun terakhir, media sosial telah menjadi tempat berkembangnya berbagai tren dan fenomena sosial yang mencerminkan kondisi masyarakat. Salah satu tren yang menarik perhatian adalah "Kabur Aja Dulu", sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan keputusan seseorang yang secara impulsif meninggalkan rutinitas mereka, entah itu pekerjaan, sekolah, atau kehidupan sehari-hari yang penuh tekanan.Â
Tren ini semakin populer di kalangan generasi muda, terutama Gen Z dan milenial, yang sering membagikan pengalaman mereka dalam "kabur" ke tempat baru untuk mencari ketenangan sejenak.
Namun, apakah tren ini benar-benar hanya sekadar hiburan semata? Ataukah ini mencerminkan sesuatu yang lebih dalam---sebuah tanda dari meningkatnya stres, tekanan ekonomi, dan ketidakpastian masa depan?Â
Jika ditelaah lebih jauh, tren ini tidak hanya menjadi bentuk pelarian pribadi, tetapi juga bisa menjadi refleksi dari permasalahan sosial dan ekonomi yang lebih luas.
Fenomena ini berkaitan erat dengan gaya hidup modern yang semakin kompetitif, lingkungan kerja yang penuh tuntutan, dan beban finansial yang semakin berat. Banyak anak muda merasa terjebak dalam siklus kerja yang melelahkan, gaji yang tidak sebanding dengan biaya hidup, serta kurangnya dukungan sosial untuk mengatasi tekanan mental. Inilah yang akhirnya mendorong mereka untuk mencari jalan keluar sementara dengan konsep "kabur".
Namun, apakah keputusan untuk "kabur" ini benar-benar menjadi solusi? Atau justru bisa memperburuk kondisi finansial seseorang dalam jangka panjang? Untuk memahami fenomena ini lebih dalam, kita perlu melihat akar permasalahan yang membuat generasi muda semakin ingin melarikan diri dari kehidupan sehari-hari mereka.
Menelusuri Akar Fenomena "Kabur Aja Dulu"
Di era digital yang semakin cepat, tuntutan terhadap individu untuk terus produktif semakin tinggi. Media sosial memperlihatkan kehidupan yang tampak sempurna, di mana banyak orang membagikan pencapaian dan kesuksesan mereka. Tekanan ini menciptakan rasa "fear of missing out" (FOMO) yang mendorong individu merasa tidak cukup baik jika tidak bisa mengikuti standar kesuksesan yang ada.
Selain itu, ada beban ekonomi yang semakin berat, terutama bagi generasi muda. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka di Indonesia berada di angka 5,32%, dengan mayoritas pengangguran berasal dari lulusan perguruan tinggi yang belum bisa mendapatkan pekerjaan sesuai dengan kualifikasi mereka.