Fenomena jasa titip (jastip) telah menjadi bagian integral dari aktivitas ekonomi informal di Indonesia. Dengan berkembangnya gaya hidup konsumtif, kemudahan berbelanja lintas negara, dan keterbatasan akses terhadap produk tertentu di dalam negeri, jastip menjadi solusi yang praktis bagi konsumen.Â
Jastip tidak hanya sekadar aktivitas ekonomi sederhana, tetapi juga mencerminkan perubahan pola konsumsi masyarakat yang semakin terhubung dengan globalisasi.Â
Banyak masyarakat kelas menengah di Indonesia yang kini mengandalkan jastip untuk mendapatkan barang-barang eksklusif atau produk-produk yang tidak tersedia secara lokal, seperti kosmetik, pakaian, dan gadget.
Kemajuan teknologi, terutama di bidang media sosial, telah menjadi katalis utama dalam perkembangan jastip. Pelaku jastip memanfaatkan platform seperti Instagram, WhatsApp, dan e-commerce untuk menawarkan layanan mereka, menjangkau pasar yang lebih luas tanpa membutuhkan modal besar.Â
Dalam konteks ini, jastip tidak hanya mencerminkan inovasi dalam ekonomi informal, tetapi juga bagaimana individu beradaptasi dengan tantangan ekonomi yang ada.Â
Namun, meski popularitasnya terus meningkat, fenomena ini juga memunculkan sejumlah persoalan, mulai dari regulasi hingga dampaknya pada struktur sosial-ekonomi, termasuk dinamika kelas menengah yang semakin rentan.
Jasa Titip: Peluang Kerja di Sektor Informal
Sebagai bagian dari ekonomi gig (gig economy), jastip menciptakan peluang kerja bagi individu yang membutuhkan fleksibilitas.Â
Pelaku jastip, yang sering kali adalah ibu rumah tangga, mahasiswa, atau pekerja lepas, menjadikan aktivitas ini sebagai sumber pendapatan tambahan. Dalam konteks ini, jastip berkontribusi pada penyerapan tenaga kerja di sektor informal, terutama di kota-kota besar.
Bagi banyak pelaku, jastip bukan sekadar kegiatan sampingan, melainkan telah berkembang menjadi pekerjaan utama. Hal ini terutama terlihat di kalangan individu yang memiliki jaringan sosial yang luas atau akses mudah ke barang-barang luar negeri.Â